Minggu, 12 April 2009

Perbandingan Anestesi Umum dan Regional Terhadap Nilai APGAR Bayi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bedah sesar atau seksio sesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress.(1)
Jumlah pasien pembedahan sesar pun meningkat karena saat ini bedah sesar tidak hanya dilakukan berdasarkan indikasi klinis atau sebagai tindakan kegawat-daruratan namun juga atas permintaan pasien sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan bedah sesar elektif.
Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis pembedahan, tentu saja tindakan ini juga memerlukan anestesi untuk mengurangi rasa sakit pasien. Anestesi adalah keadaan dimana tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan nyeri. Hal ini terjadi akibat dari pemberian obat atau intervensi medik lainnya.(2) Keadaan ini, secara umum, menguntungkan bagi pasien dan dokter saat melakukan pembedahan.
Teknik anestesi yang biasa digunakan pada pasien bedah sesar ada dua macam, yaitu teknik anestesi umum dan teknik anestesi regional (anestesi spinal atau anestesi epidural). Menurut beberapa literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya, anestesi umum memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dan komplikasi yang lebih banyak daripada teknik anestesi regional.
Di Negara-negara maju, teknik anestesi regional lebih disukai untuk pasien-pasien bedah sesar. Di Amerika sendiri, 80-90% prosedur bedah sesar dilakukan di bawah anestesi regional.(3)
Pemilihan teknik anestesi pada pasien bedah sesar mempengaruhi prognosa dan komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan kehamilan, keadaan umum pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi yang ada berpengaruh terhadap jenis anestesi yang akan dilakukan.
Pemilihan teknik anestesi bukan hanya mempengaruhi keadaan ibu selama dan pasca pembedahan, tetapi juga keadaan bayi. Oleh karena itu selama pembedahan sesar, seorang ahli anestesi yang membantu, harus memikirkan bahwa saat itu dia memiliki dua pasien yaitu sang ibu dan bayinya.
Ada banyak kemungkinan komplikasi yang dapat muncul pada ibu akibat pemberian anestesi saat bedah sesar. Komplikasi yang mungkin timbul pada ibu yang mendapat anestesi regional saat pembedahan adalah hipotensi, postdural puncture headache (PDPH), gangguan persarafan, anestesi spinal total, dan kejang yang diinduksi oleh anestetik lokal. (3) Komplikasi lain yang mungkin timbul dari anestesi general adalah aspirasi paru dan meningkatnya resiko muntah pasca-operasi. Data juga menunjukkan bahwa anestesi umum memiliki tingkat mortalitas pada pasien seksio sesarea kira-kira tujuh belas kali lebih banyak daripada pasien seksio dengan anestesi regional.(3) Dapat disimpulkan bahwa pemilihan teknik anestesi yang tepat pada seksio sesarea sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses persalinan tersebut.
Hal yang dikhawatirkan pada pemberian anestesi pada ibu hamil saat pembedahan adalah paparan agen anestesi yang dapat mempengaruhi janin, karena dapat menembus sawar plasenta. Untuk itu, selalu dilakukan pemantauan pada bayi pasca bedah sesar. Cara pemantauan atau penilaian keadaan bayi yang paling umum dilakukan adalah dengan menggunakan nilai APGAR.(4)
Nilai APGAR pada neonatus sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh pemberian anestesi. Kecenderungan rendahnya nilai APGAR pada menit pertama setelah kelahiran lebih dikarenakan terlambat dikeluarkannya fetus atau memanjangnya waktu insisi uterus sampai ke pengeluaran fetus.(5)
Menurut penelitian, fetus harus dikeluarkan dari rahim pasien paling lambat setelah seratus delapan puluh detik (3 menit) dilakukannya insisi pada abdomen pasien (incision-to-delivery interval / I-D interval). Jika lebih dari tiga menit, bayi akan lebih cenderung menderita asfiksi. (3),(6)
Faktor-faktor lain yang membuat nilai APGAR bayi menjadi rendah antara lain adalah ketidak-matangan janin (bayi lahir prematur) dan kelainan-kelainan kongenital yang dimiliki bayi tersebut.(4) Dari pihak ibu sendiri juga terdapat faktor yang mempengaruhi nilai APGAR bayi, yaitu usia ibu saat hamil serta penyakit kronis yang dimiliki.
Faktor-faktor seperti usia bayi yang prematur, penyakit kronis ibu, usia ibu saat hamil, dan kelainan kongenital bayi hampir tidak dapat dimanipulasi. Oleh karena itu, untuk mengusahakan agar bayi dapat dilahirkan dengan kondisi baik, yang dapat kita lakukan adalah mengusahakan agar pembedahan dan pemberian anestesi tidak mengganggu aliran darah uteroplasental. Aliran darah uteroplasental yang baik dapat menjamin kondisi bayi saat lahir akan baik pula.
Aliran darah uteroplasental dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pemberian anestesi pada ibu saat bedah sesar. Zat anestesi yang dapat menembus sawar uteroplasental dan teknik anestesi tertentu dapat meningkatkan resiko menurunnya perfusi darah pada janin. Hal ini yang menyebabkan terjadinya asfiksi pada bayi dan berakibat pada menurunnya nilai APGAR.
Bayi, yang ibunya mendapatkan anestesi regional saat bedah sesar, lebih sedikit terpapar zat-zat sedatif yang terkandung dalam agen anestesi sehingga, menurut beberapa sumber, nilai APGAR- nya dalam 1 menit pertama kebanyakan lebih baik daripada ibu dengan anestesi umum.(7, 8)
Sesuai dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai teknik anestesi yang digunakan pada pasien-pasien bedah sesar yang berobat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan hubungannya dengan nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5 pada bayi yang dilahirkan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang ingin dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana gambaran nilai APGAR bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar dengan menggunakan teknik anestesi regional dan yang menggunakan teknik anestesi umum?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Maksud
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji teknik anestesi umum dan anestesi regional terhadap nilai APGAR dari bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar elektif selama tahun 2008 di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

1.3.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan nilai APGAR dari bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar elektif menggunakan anestesi umum dan anestesi regional.



1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mengetahui perbandingan teknik anestesi umum dan anestesi regional (spinal dan epidural) pada bedah sesar terhadap nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5.
Selain itu, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, rekan-rekan mahasiswa, serta pihak-pihak yang berkepentingan.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan
2.1.1 Perubahan Hematologi
Wanita hamil akan mengalami peningkatan volume darah kira-kira sebanyak 30% dari total volume awal. Peningkatan umunya terjadi pada pertengahan akhir kehamilan.(9) Peningkatan volume darah ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perfusi darah pada uterus yang membesar dan mengalami hipertropi vaskuler, untuk menjaga ibu dan fetus dari gejala menurunnya aliran darah balik pada ibu saat supinasi atau berdiri, dan untuk menjaga ibu dari efek kehilangan darah yang merugikan saat partus.(1)
Aldosteron dan estrogen berpengaruh besar terhadap peningkatan volume darah ibu selama kehamilan. Sekresi kedua hormon tersebut merangsang retensi cairan oleh ginjal sehingga jumlah cairan dalam tubuh yang diekskresi lebih sedikit dan lebih banyak yang diserap kembali masuk ke dalam pembuluh darah.(9)
Hemoglobin dan hematokrit ibu akan menurun selama kehamilan. Hal ini dikarenakan yang terjadi sebenarnya adalah peningkatan plasma darah ibu, yang tidak diimbangi dengan peningkatan pembentukan sel darah merah yang memadai.(1) Saat hamil, plasma darah meningkat kira-kira 50% sedangkan sel darah merah hanya mengalami peningkatan sebanyak 20%.(10) Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis.


2.1.2 Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler
Mulai minggu ke-5 kehamilan, curah jantung mengalami peningkatan hingga mencapai 40% pada minggu ke- 36 sampai minggu ke-38 gestasi.(10) Peningkatan ini terjadi akibat dari menurunnya resistensi vaskuler sistemik sebanyak 20% dan peningkatan dari denyut jantung.(1, 9, 10)
Tekanan darah arteri pada wanita hamil akan berbeda pada saat berbaring dan saat berdiri. Tekanan darah yang biasanya berubah adalah tekanan darah arteri femoral, sedangkan tekanan darah pada daerah antekubital tidak mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan pada saat ibu tersebut berdiri, terjadi stagnasi dari aliran darah balik ke vena akibat adanya pembesaran uterus yang mengoklusi vena kava inferior dan vena-vena di bagian pelvis.(1)
Hal lain yang terjadi pada periode akhir kehamilan adalah hipotensi pada saat supinasi. Hipotensi ini terjadi karena uterus yang membesar akan menekan vena kava inferior sehingga aliran darah balik menjadi terhambat. Gejala-gejala ini sering disebut supine hypotensive syndrome. (1)

2.1.2.1 Aliran Darah Uteroplasenta
Plasenta berfungsi untuk mensekresi hormon dan enzim ke darah ibu. Selain itu, plasenta berfungsi sebagai organ untuk mentranspor nutrisi dan hasil metabolism fetus, juga untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Walaupun plasenta berasal dari fetus, namun plasenta sepenuhnya bergantung pada darah ibu untuk mendapatkan nutrisi.(11)
Perfusi uteroplasenta bergantung pada arteri uterina dan arteri ovarica. Arteri uterina lebih memegang peranan penting untuk mensuplai darah ke uterus.
Tekanan darah arteri ibu, kira-kira 60-70 mmHg, menyebabkan terjadinya aliran darah ke intervillous space yang tekanannya hanya 20 mmHg. Sedangkan darah vena cenderung mengalir di sepanjang basal plate lalu keluar ke venula dan mencapai vena ibu. Kedua keadaan ini mengakibatkan adanya transfer nutrisi dan hasil metabolisme antara ibu dan bayinya.(11)
Fetus relatif hipoksik terhadap keadaan oksigen ibu, namun belum mencapai tahap asidosis. Ada tiga faktor yang memperngaruhinya, yaitu tingginya kadar hemoglobin pada fetus, tingginya curah jantung fetus, dan tingginya kemampuan fetal hemoglobin untuk mengikat oksigen.(12) Oleh karena itu suplai darah yang baik antara ibu dengan fetus sangat diperlukan untuk mencegah fetus kekurangan oksigen saat dalam kandungan.
Secara klinis, perfusi plasenta dipengaruhi oleh banyak perubahan fisiologis dari ibu atau janinnya. Ketika tekanan darah ibu menurun, akan terjadi peningkatan volum plasma untuk mengkompensasinya. Peningkatan ritme kontraksi uterus akan menguntungkan perfusi ke plasenta. Begitu pula sebaliknya.(11)

2.1.3 Perubahan pada Sistem Respirasi
Uterus yang membesar mendorong diafragma untuk naik kurang lebih 4 cm dari posisi asalnya. Kenaikan diafragma mengurangi kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga akan mengurangi jumlah udara residu yang ada di paru-paru sebanyak 25%.(1) Selain itu, progesterone menyebabkan volume udara tidal paru ibu meningkat 40%. Kedua hal tersebut menyebabkan ibu hamil bernapas lebih dalam karena terjadi percampuran dari udara teroksigenasi dengan sedikit udara karbon terdeoksigenasi. Keadaan ini disebut sebagai hiperventilasi dan perlu diperhatikan saat pemberian anestesi umum. Hiperventilasi akan menurunkan cadangan oksigen sehingga hipoksia dapat terjadi lebih cepat. Pada pemberian anestesi umum, keadaan hiperventilasi akan mempercepat induksi anestesi dan pengembalian kesadaran setelah anestesi.(10)
Selama kehamilan, terjadi juga pembengkakan pembuluh darah di mukosa sepanjang traktus respiratorius. Pembengkakan ini menyebabkan bukaan glottis menjadi lebih sempit. Akibatnya adala sulitnya dilakukan intubasi, terlebih saat persalinan.(13) Kesulitan intubasi akan mempengaruhi kadar oksigen yang didapat ibu saat melahirkan. Jika oksigen yang didapat oleh ibu tidak adekuat, maka akan berpengaruh pada bayi.

2.1.4 Perubahan pada Sistem Urinarius
Telah dijelaskan bahwa pada kehamilan, volume darah ibu akan meningkat. Untuk mengimbangi hal itu, maka harus ada mekanisme dimana air dan elektrolit diekskresikan. Pada awal trimester kedua, kecepatan filtrasi glomerulus aliran plasma ke ginjal akan meningkat sebanyak 50% dan akan terjadi peningkatan sampai akhir trimester ketiga. Sehingga biasanya ibu hanya akan mengalami penambahan air dan garam sekitar 6 pon saat kehamilan.(1, 9)

2.1.5 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Penyebab utama perubahan pada sistem gastrointestinal dari wanita hamil adalah keadaan hipotonus yang menyebabkan menurunnya motilitas lambung dan peningkatan waktu pengosongan lambung. Hal ini diakibatkan oleh perubahan posisi anatomi lambung akibat pembesaran uterus.(10) Waktu pengosongan lambung (gastric emptying time) akan menjadi lebih lama pada saat kehamilan dan akibat dari keadaan hipotonus tersebut, pH dari asam lambung akan menjadi lebih rendah. Oleh karena itu bahaya yang utama saat pemberian anestesi umum pada ibu hamil adalah adanya regurgitasi atau aspirasi dari makanan atau asam lambung.(1, 10)

2.1.6 Perubahan Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Perifer
Saat kehamilan, Minimum Alveolar Concentration (MAC) akan menurun kira-kira 40%. Etiologi mengapa MAC menurun belum diketahui pasti, namun penurunan MAC ini akan menyebabkan meningkatnya nilai ambang batas rasa nyeri atau analgesi yang diinduksi kehamilan.(13)
Pasien – pasien yang sedang mengandung membutuhkan anestesi lokal yang lebih sedikit dibandingkan pasien yang tidak sedang mengandung. Diperkirakan bahwa peningkatan progesteron membuat pasien lebih sensitif terhadap zat-zat anestesi lokal. Vena epidural yang terdistensi membantu menghambat hilangnya agen anestesi melalui intrevertebral foramina sehingga dosis efektif dapat diturunkan. Serebrospinal likuor pada ibu hamil juga mengandung lebih sedikit protein, sehingga lebih banyak fraksi dari anestesi lokal yang tidak terikat dan hasilnya adalah lebih banyak obat-obatan yang aktif.(13, 14)

2.2 Anestesi
Anestesi memerlukan penggunaan obat-obatan tertentu dengan cara tertentu untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan sementara meminimalisasi efek samping yang tidak diharapkan, maupun toksisitas. Keadaan anestesi diikuti dengan adanya keadaan analgesia, amnesia, hypnosis, dan relaksasi otot.(15)

2.2.1 Anestesi Regional
2.2.1.1 Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi lokal pada likuor serebro-spinal di daerah lumbar.(16) Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang menjadi pilihan di saat darurat karena teknik ini memiliki waktu mula yang cepat, mudah dilakukan, dan menghasilkan keadaan anestesi yang memuaskan.(17) Namun kelemahannya adalah teknik ini memiliki tingkat hipotensi pada ibu yang lebih tinggi dibandingkan teknik anestesi epidural.
Anestesi spinal dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan pasien. Persiapan dilakukan antara lain dengan memberikan antasida pada pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi pulmonal.
Secara umum, pasien diposisikan pada posisi dekubitus lateral. Namun terkadang pasien diposisikan duduk jika pasien tersebut termasuk dalam kategori obesitas.(3)
Selanjutnya, ahli anestesi akan menentukan letak dimana jarum dimasukkan. Biasanya dipilih antara lain daerah antara L2-3 atau L3-4 atau L4-5. Setelah itu introducer dimasukkan, dan setelah yakin bahwa daerah tersebut aman dari pembuluh darah, maka zat anestesi pun diinjeksikan. (3)

2.2.1.2 Anestesi Epidural
Anestesi epidural memiliki waktu mula yang lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal. Selain itu, jumlah zat yang diperlukan untuk mendapatkan efek anestesi yang memadai juga lebih banyak.
Penggunaan agen anestesi juga perlu diperhatikan karena terkadang, tanpa sengaja, agen anestesi tersebut masuk ke intravaskuler. Efek yang terjadi karena hal tersebut tidak hanya berupa kejang tetapi juga dapat mengakibatkan berhentinya detak jantung (cardiac arrest).
Keuntungan dari epidural anestesi adalah kejadian post-dural puncture headache pada teknik ini jauh lebih rendah. Selain itu, karena teknik ini menggunakan kateter epidural, ahli anestesi dapat mentitrasi berapa banyak zat yang digunakan. Semakin tepat dosis yang digunakan, artinya semakin dosis yang digunakan sesuai dengan yang pasien perlukan, maka semakin sedikit komplikasi yang mungkin akan terjadi.

2.2.1.3 Agen Anestesi yang Digunakan Pada Anestesi Regional
Agen anestesi yang biasa digunakan untuk anestesi regional adalah larutan hiperbarik bupivacaine. Selain bupivacaine, agen anestesi yang sering digunakan adalah lidocaine atau tetracaine.(6) Namun, di RSUP Dr. Hasan Sadikin, yang lebih sering digunakan adalah lidocaine atau bupivacaine.
Bupivacaine memiliki waktu paruh tiga setengah jam, sedangkan lidocaine memiliki waktu paruh kira-kira hanya setengahnya saja (1.6 jam). Sehingga, bupivacaine lebih banyak digunakan untuk mendapatkan efek anestesi yang lebih panjang. (16)
Cara kerjanya adalah dengan memblok saluran kalsium yang berada di ujung membran presinaptik.(16) Ketika potensial aksi mendepolarisasi membran presinaptik dan saluran kalsium terhambat, maka tidak ada substansi transmiter yang dilepaskan dari terminal presinaptik ke synaptic cleft sehingga tidak ada impuls yang disampaikan.(9)
Anestesi lokal seperti mempunyai efek samping terhadap sistem kardiovaskular tubuh. Kerja anestesi lokal terutama mempengaruhi miokardium jantung sehingga terjadi penurunan eksitabilitas elektrik, derajat konduksi, dan kontraksi. Bupivacaine lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan lidocaine pada tingkat dosis efektif yang sama dan dapat menyebabkan ventricular arrhythmia serta depresi miokardial jika diberikan dalam dosis tinggi. Intoksikasi oleh bupivacaine tergolong sulit untuk diobati.(16, 18)
Untuk mendapatkan efek anestesi perioperatif, biasanya ditambahkan zat-zat adjuvant pada agen-agen anestesi tersebut. Penambahan zat tersebut membantu pasien merasa lebih nyaman setelah tindakan operasi.

2.2.2 Anestesi Umum
Anestesi umum adalah suatu kondisi yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaksadaran, analgesia (hilangnya kemampuan merasakan nyeri), relaksasi otot, dan ditekannya refleks-refleks tubuh. (19) Anestesi umum dilakukan jika terdapat kontraindikasi terhadap anestesi regional, adanya kegawat-daruratan, antisipasi kehilangan darah yang banyak, dan diperlukan uterus yang relaksasi saat pembedahan.

2.2.2.1 Teknik Anestesi Umum
Anestesi umum dilakukan melalui empat tahapan, yaitu persiapan, induksi, rumatan, dan pemulihan. Pada tahap persiapan, pasien diberikan antasida atau ranitidine, cimetidine, atau metoclorpramide. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi asam lambung ke paru-paru. Pada fase ini juga, pasien diposisikan supinasi.(13, 19)
Pada tahap induksi, agen anestesi mulai diberikan pada pasien. Agen anestesi yang digunakan dapat berupa agen yang volatil atau non-volatil. Di fase ini, kesadaran pasien mulai menghilang.(19)
Setelah itu pasien akan memasuki fase rumatan. Fase rumatan dimulai sejak pasien berada dalam kondisi anestesi penuh dan berakhir saat pasien mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Pada fase ini pasien tidak dapat merasakan nyeri, kehilangan kesadaran, namun fungsi organ masih adekuat. Respon stress pasien, kadar keseimbangan elektrolit dan cairan, serta temperatur tubuh berada dalam kondisi stabil (19)
Fase terakhir adalah fase pemulihan. Dalam fase ini dapat dikatakan bahwa terjadi mekanisme pengembalian kemampuan pasien untuk mengatur fungsi vital tubuhnya. Kemampuan pasien untuk kembali sadar ditentukan terutama oleh hilangnya paparan obat-obatan anestesi dari otak.(19)

2.2.2.2 Agen Anestesi yang Digunakan pada Anestesi Umum
Agen-agen anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu agen sedatif, agen analgesi, dan agen pelemas otot.(20)
1. Agen sedatif
Agen sedatif dikelompokkan menjadi agen anestesi intravena dan agen anestesi inhalasi. Agen anestesi intravena antara lain golongan barbiturate (sodium thiopenthal, methohexital), propofol, etomidate, dan ketamine. Karena agen-agen intravena lebih bersifat lipofilik, maka perfusi ke otak dan medulla spinalis akan lebih tinggi sehingga waktu mula anestesi lebih cepat.
Agen anestesi inhalasi antara lain halothane, isoflurane, enflurane, desflurane, sevolurane, dan nitrous oxide.
2. Agen analgetik
Agen anestesi intravena atau inhalasi umumnya tidak berfungsi baik sebagai analgetik kecuali jenis ketamine sehingga saat mengerjakan anestesi umum, biasanya diperlukan juga tambahan agen analgetik seperti fentanyl, sufentanil, alfentanil, meperidine, dan morfin. Agen-agen analgetik tersebut memiliki efek analgesi dan efek samping yang sama, sehingga pemilihan agen analgetik lebih dititikberatkan pada lama kerja agen tersebut. Efek samping akibat pemakaian agen-agen ini adalah rasa mual, muntah, dan pruritus.
3. Agen Pelemas Otot
Agen pelemas otot digunakan saat induksi anestesi untuk melemaskan otot-otot rahang, leher, dan saluran napas sehingga memudahkan dilakukannya laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Agen pelemas otot dikategorikan menjadi agen yang mendepolarisasi (succinylcholine) atau agen yang tidak mendepolarisasi (pancuronium, pipecuronium, vecuronium, dan lain-lain).

2.2.2.3 Keuntungan dan Kerugian dari Anestesi Umum
Keuntungan penggunaan anestesi umum pada bedah sesar antara lain adalah waktu mula yang cepat, adanya pengaturan penuh terhadap ventilasi dan jalan napas oleh ahli anestesi, dan lebih sedikitnya insidensi hipotensi yang terjadi pada pasien hipovolemi.(6, 13)
Beberapa kerugian yang signifikan pada teknik anestesi umum yaitu gagal dilakukannya intubasi sehingga meningkatan morbiditas dan mortalitas pasien bedah sesar. Anestesi umum juga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal yang lebih tinggi. Dan yang paling berbahaya adalah anestesi umum dapat meyebabkan depresi pada fetal.(6, 13) Depresi fetal inilah yang mengakibatkan bayi yang ibunya mendapatkan anestesi umum saat bedah sesar, lebih cenderung menderita asfiksi.

2.2.3 Bedah Sesar
Bedah sesar atau seksio sesarea adalah cara pengeluaran janin dari tubuh ibu dengan jalan meninsisi dinding abdomen dan dinding uterus ibu. (1)

2.2.3.1 Indikasi Bedah Sesar
Ada banyak indikasi untuk melakukan bedah sesar. Indikasi bedah sesar dibedakan menjadi indikasi fetal, indikasi maternal, dan indikasi gabungan dari keduanya.(21)
· Indikasi fetal
Indikasi yang dikarenakan oleh fetus antara lain fetal distress, bayi dalam posisi sungsang, ibu terkena infeksi aktif dari virus herpes simpleks (HSV), adanya anomali pada fetus yang tidak memungkinkannya lahir normal melalui persalinan per-vaginam.
· Indikasi maternal
Indikasi yang disebabkan gangguan pada ibu antara lain adanya obstruksi pada traktus genital bagian bawah, kembar siam, pernah mengalami bedah sesar sebelumnya, atau pernah mengalami pembedahan di uterus.
· Indikasi fetal dan maternal
Indikasi yang dipengaruhi oleh ibu dan fetus antara lain plasenta previa dan vasa previa, abruptio placenta, distosia atau cephalopelvic disproportion.

2.2.3.2 Teknik Bedah Sesar
Sebelum bedah sesar dilakukan, biasanya dilakukan persiapan pada pasien. Persiapan yang dilakukan antara lain menjaga kondisi cairan tubuh pasien dan memperbaiki jika terjadi anemia.(22) Kedua keadaan ini diperuntukkan agar kejadian syok pada pasien saat operasi menjadi lebih menurun dan mengurangi komplikasi lainnya.
Bedah sesar dikelompikkan berdasarkan dua jenis teknik insisi, yaitu insisi vertikal atau insisi transversal. Pada teknik insisi vertikal, dilakukan penyayatan di bawah umbilicus secara vertikal. Sedangkan pada teknik insisi transversal, insisi dilakukan setinggi garis rambut pubis dan diperpanjang hingga batas lateral musculus rectus. Terkadang insisi dilakukan dengan variasi khusus jika terjadi penyulit yang tidak terantisipasi.(1, 22)

2.2.3.3 Keuntungan dan Kerugian Bedah Sesar
Selayaknya tindakan bedah yang lain, bedah sesar memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Keuntungan yang didapat ibu dalam jangka waktu yang panjang antara lain adalah proteksi terhadap otot-otot dasar panggul sehingga mengurangi insidensi inkontinensia feses, flatus, dan urin, juga menurunkan kejadian prolapsus dari organ-organ di pelvis. Pada bayi, tindakan bedah sesar menurunkan resiko menularnya penyakit dari ibu dengan HIV, hepatitis B, dan lain-lain. Cerebral palsy akibat distosia, fraktur, dan cedera saraf bayi akibat tekanan saat partus normal juga dapat dicegah dengan melakukan tindakan bedah sesar.(23)
Kerugian dari bedah sesar antara lain adalah meningkatnya resiko rawat inap bagi ibu setelah pembedahan jika dibandingkan dengan persalinan normal. Ibu juga cenderung mengalami depresi postpartum dan perasaan bersalah karena kehilangan pengalaman melahirkan secara normal. Bagi bayi yang dilahirkan, bedah sesar lebih cenderung mengakibatkan gangguan pernapasan seperti respiratory acidosis akibat hipotensi ibu yang dikarenakan oleh pemberian anestesi.(23)

2.2.4 Nilai APGAR
Nilai APGAR adalah suatu metode praktis untuk memeriksa bayi yang baru lahir secara sistematis untuk membantu mengidentifikasi perlunya resusitasi dan memprediksi kemampuan bertahan hidup bayi tersebut pada masa neonatusnya. APGAR adalah singkatan dari A = Appearance, P = Pulse, G = Grimace, A = Activity, dan R = Respiratory.(4)
Nilai APGAR pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Virginia Apgar dan dipublikasikan pada tahun 1953.(24, 25) Dr. Virginia Apgar mengajukan ide untuk menggunakan sistem penilaian terhadap denyut jantung, usaha bernapas, tonus otot, respons saat kateter dimasukkan ke lubang hidung, dan warna kulit bayi untuk membantu memudahkan penanganan pada bayi baru lahir. (4)
Nilai APGAR diambil pada menit ke-1 dan ke-5 setelah bayi dilahirkan. Nilai APGAR menit pertama, jika rendah, berkaitan dengan adanya asidosis pada neonatus. Sedangkan nilai APGAR pada menit ke-5 berhubungan dengan fungsi neurologis. (4)
Setiap komponen pada nilai APGAR diberi nilai antara 0 sampai 2. Cara penilaian yang dilakukan adalah sebagai berikut:(26)
Kriteria Penilaian
0
1
2
Appearance (warna)
biru atau pucat
badan berwarna pink, tetapi anggota gerak berwarna biru
pink seluruh tubuh
Pulse (nadi)
tidak teraba
<100 kali per menit
>100 kali per menit
Grimace (refleks iritabilitas)
tidak ada respon
menyeringai
menangis
Activity (tonus otot)
lemah
sedikit fleksi
bergerak aktif
Respiration (respirasi)
tidak bernapas
bernapas dangkal dan irregular
bernapas baik, menangis

Nilai APGAR adalah penjumlahan dari kelima komponen tersebut. Jika total nilai dari kelima komponen tersebut lebih besar dari 7, maka dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut ada dalam keadaan baik.(25)
Nilai APGAR dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:(6)
· Faktor ibu
Hipotensi pada ibu hamil akan menyebabkan kurangnya aliran darah ke uterus sehingga perfusi uteroplasentalnya juga akan menurun. Pemberian anestesi yang terlalu dalam pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan hipoksia ibu dan konsekuensinya adalah hipoksia janin. Kedua hal tersebut akan menurunkan ni lai APGAR bayi.
· Faktor plasenta
Pada keadaan preeclampsia, dimana terjadi insufisiensi perfusi uteroplasenta, transfer oksigen ke janin akan menurun.
· Faktor janin
Apabila umbilikus mengalami tekanan karena terlilit leher, maka aliran darah ke umbilikus akan tergagngu dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
· Faktor bayi baru lahir
Anestesi berlebih pada ibu akan menembus sawar plasenta sehingga menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat janin. Bila terjadi trauma, seperti perdarahan intracranial atau kelainan kongenital seperti atresia saluran pernapasan, juga dapat menurunkan nilai APGAR.
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian
Data diambil dari rekam medis pasien bedah sesar di bagian obstetri dan ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin. Rekam medis yang digunakan adalah rekam medis dari pasien-pasien bedah sesar bulan Januari 2007 sampai dengan bulan desember 2008 (dua tahun berturut-turut) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
1. Usia kehamilan antara 37 – 42 minggu.
2. Kehamilan tunggal.
3. Usia ibu 20 – 40 tahun.
4. Bedah sesar elektif

Kriteria eksklusi:
1. Adanya gawat janin atau fetal distress
2. Adanya eklampsia atau pre-eklampsia pada ibu
3. Adanya cacat bawaan pada bayi
4. Adanya penyakit kronis pada ibu seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan gangguan paru-paru.

3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi tipe dan rancangan penelitian juga teknik analisis data.
3.2.1 Tipe dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospective cross-sectional.
3.2.2 Tatacara Penelitian
Data diperoleh dari rekam medis pasien yang menjalani operasi bedah sesar elektif dengan teknik anestesi umum atau anestesi regional di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari sampai Desember 2008.
Data yang diambil meliputi:
1. Usia pasien
2. Umur kehamilan
3. Tinggi badan
4. Berat badan
5. Jenis anestesi yang digunakan saat bedah sesar
6. Nilai APGAR menit pertama dan menit ke-5

3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Penulisan proposal penelitian
Proposal penelitian ini mulai disusun sejak tanggal 9 Februari 2009 sampai dengan 11 Februari 2009.
2. Pengambilan data
Pengambilan data sekunder di bagian obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan bulan April 2009.
3. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan setelah data selesai dikumpulkan.
4. Penyajian hasil
Hasil disajikan dalam bentuk laporan dimulai sejak proposal penelitian disetujui sampai dengan bulan Mei 2009.
3.4 Teknik Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis dengan uji statistik menggunakan program SPSS 15.0 for Windows. Uji statistik yang dilakukan adalah uji T, dan uji Mann-Whitney. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5% dan dianggap bermakna bila p>0.05. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk rata-rata (mean).

3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2009 sampai dengan bulan April 2009. Penelitian dilakukan di bagian obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Data diambil dari 123 pasien yang menjalani operasi bedah sesar elektif. Terdapat dua kelompok yang dibandingkan, yaitu kelompok yang mendapat anestesi umum dan kelompok yang mendapat anestesi regional. Data karakteristik umum dan simpangan baku subjek terlihat pada table di bawah ini.
Tabel 4.1 Nilai Rata-rata dan Simpang Baku Karakteristik Umum Subjek Penelitian pada Tiap-tiap Kelompok
Karakteristik
Anestesi Regional
(n= 75)
Anestesi Umum
(n= 47)
Kemaknaan
Umur pasien
x(SD)
Rentang
Tinggi badan
x(SD)
Rentang
Berat badan
x(SD)
Rentang
BMI
x (SD)
Rentang

28.2 (5.4)
20 – 40

153.2 (5.8)
140 – 168

63.7 (8.6)
47 – 95

27.2 (3.8)
19.5 – 39.9

28.2 (5.4)
20 - 40

152.2 (5.9)
140 – 168

66.6 (13.3)
44 – 118

28.6 (4.7)
19.6 – 47.3

t = 1.18
p = 0.241

t = 0.87
p = 0.385

t = 1.44
p = 0.153

t = 1.83
p = 0.070

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua variable yang diperbandingkan pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) dalam hal usia, tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh (body mass index / BMI). Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diambil adalah homogen dan layak untuk diperbandingkan.

4.1.2 Nilai APGAR pada Kelompok Anestesi Umum dan Anestesi Regional
Tabel di bawah ini menunjukkan nilai APGAR bayi pada menit ke-1 dan menit ke-5 antara kelompok yang ibunya mendapatkan anestesi umum dan anestesi regional.
Tabel 4.2 Nilai APGAR pada Menit ke-1 dan Menit ke-5 pada Kedua Kelompok

Anestesi Regional
Anestesi Umum
Kemaknaan
APGAR 1’
1
3
5
6
7
8

APGAR 5’
3
5
6
7
8


-
-
1
6
12
56


1
-
-
2
72

1
4
-
18
6
18


1
2
10
1
33

ZM-W = 4.6
p = 0.000






ZM-W = 4.0
p = 0.000

Didapatkan perbedaan yang signifikan pada nilai APGAR menit ke-1 dan menit ke-5 pada kelompok anestesi umum dan anestesi regional. Terlihat bahwa nilai APGAR pada perlakuan anestesi regional cenderung lebih besar dibandingkan nilai APGAR pada anestesi umum.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Gambaran Umum
Dari nilai rata-rata dan simpangan baku karakteristik umum subjek penelitian pada tiap-tiap kelompok (tabel 4.1) dapat disimpulkan bahwa umur, tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Sehingga, secara statistik, sampel yang diambil layak untuk diperbandingkan.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno, Kenneth. J., Bloom, Steven L., et al. Williams Obstetrics. 22 ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
2. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29 ed. Jakarta: EGC; 2002.
3. Santos AC, Braveman, Ferne R., Finster, Mieczyslaw. Obstetric Anesthesia. In: Barash PG, Cullen, Bruce F.,Stoelting, Robert K., editor. Clinical Anesthesia. 5th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Stoll BJ, Kliegman, Robert M. The Newborn Infant. In: Behrman RE, Kliegman, Robert M., Jenson, Hal B., editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia: Saunders; 2004.
5. Backe SK. Oxygen and Elective Cesarean Section. British Journal of Anaesthesia. 2002;11.
6. Morgan GE, Jr., Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. . Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
7. Dyer RA, Els, I., Farbas, J., et al. Prospective, Randomized Trial Comparing General with Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery in Preeclamptic Patients with A Nonreassuring Fetal Heart Trace. Anesthesiology. 2003 September;99(3):567-8.
8. Mark LC. The Dilemma of General Anesthesia for Cesarean Section : Adequate Fetal Oxygenation vs. Maternal Awareness during Operation. Anesthesiology. 1982;56:405-6.
9. Guyton AC, Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9 ed. Jakarta: EGC; 1997.
10. Gilbert ES. Manual of High Risk Pregnancy & Delivery. 4 ed. New Delhi: Mosby Inc.; 2007.
11. Laughlin D, Knuppel, Robert A. Maternal - Placental - Fetal Unit; Fetal & Early Neonatal Physiology. In: DeCherney AH, Nathan, Lauren., editor. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9 ed. New York: The McGrw-hill; 2003.
12. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6 ed. Toronto: Churchill Livingstone Inc.; 2003.
13. Min J, Haddad, Tania. Anesthesia for Obstetrics and Gynecology. In: Hurford WE, Bailin, Michael T., Davison, J.K., et al, editor. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 6 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
14. Strichartz GR, Berde, Charles B. Local Anesthetics. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
15. Schwinn DA, Watkins, David W., Leslie, John B. Basic Principles of Pharmacology Related to Anesthesia. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
16. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 10 ed. New York: Lange; 2007.
17. Wilson I, Allman, Keith. Oxford Handbook of Anesthesia. Oxford: Oxford University Press; 2001.
18. Catterall WA, Mackie, Kenneth. Local Anesthethics. In: Brunton LL, Lazo, John S., Parker, Keith L., editor. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therpeutics. 11 ed. New York: The McGraw-Hill; 2006.
19. Willenbin RL, Polk, Susan L. Management of General Anesthesia. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
20. Evers AS, Crowder, C. Michael., Balser, Jeffrey R. General Anesthetics. In: Brunton LL, Lazo, John S., Parker, Keith L., editor. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutics. 11 ed. New York: The McGraw-Hill; 2006.
21. Hearne AE, Driggers, Rita. Normal Labor and Delivery, Operative Delivery, and Malpresentations. In: Bankowski BJ, Hearne, Amy E., Lambrou, Nicholas C., et al, editor. The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
22. Porter TF, Scott, James R. Cesarean Delivery. In: Scott JR, Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y., editor. Danforth's Obstetrics and Gynecology. 9 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins 2003.
23. Minkoff H, Charvenak, Frank A. Elective Primary Cesarean Delivery. The New England Journal of Medicine. 2003 February, 18;348:946.
24. Fox HE. APGAR: A Commentary. P&S Journal. 1994 Maret 1(2).
25. Casey BM, McIntire, Donald D., Leveno, Kenneth J. The Continuing Value of The APGAR Score for The Assessment of Newborn Infants. The New England Journal of Medicine. 2001;344:467.
26. Alessandrini EA. Neonatal Resuscitation. In: Fleisher GR, Ludwig S., Silverman, Benjamin K., Henretig, Fred M., editor. Textbook of Pediatric Emergency Medicine. 4 ed. New York: Lippincott, Williams & Wilkins; 2000.

Tidak ada komentar: