Minggu, 12 April 2009

Perbandingan Anestesi Umum dan Regional Terhadap Nilai APGAR Bayi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bedah sesar atau seksio sesarea sudah menjadi pembedahan yang lazim di Indonesia. Sekarang ini, bedah sesar sudah berkembang pesat. Biasanya teknik operasi ini lebih diperuntukkan bagi wanita dengan bedah sesar pada persalinan sebelumnya dan wanita dengan kehamilan yang memiliki resiko besar saat persalinan seperti distosia, posisi janin sungsang, dan fetal distress.(1)
Jumlah pasien pembedahan sesar pun meningkat karena saat ini bedah sesar tidak hanya dilakukan berdasarkan indikasi klinis atau sebagai tindakan kegawat-daruratan namun juga atas permintaan pasien sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan bedah sesar elektif.
Karena bedah sesar termasuk salah satu jenis pembedahan, tentu saja tindakan ini juga memerlukan anestesi untuk mengurangi rasa sakit pasien. Anestesi adalah keadaan dimana tubuh kehilangan kemampuan untuk merasakan nyeri. Hal ini terjadi akibat dari pemberian obat atau intervensi medik lainnya.(2) Keadaan ini, secara umum, menguntungkan bagi pasien dan dokter saat melakukan pembedahan.
Teknik anestesi yang biasa digunakan pada pasien bedah sesar ada dua macam, yaitu teknik anestesi umum dan teknik anestesi regional (anestesi spinal atau anestesi epidural). Menurut beberapa literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya, anestesi umum memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dan komplikasi yang lebih banyak daripada teknik anestesi regional.
Di Negara-negara maju, teknik anestesi regional lebih disukai untuk pasien-pasien bedah sesar. Di Amerika sendiri, 80-90% prosedur bedah sesar dilakukan di bawah anestesi regional.(3)
Pemilihan teknik anestesi pada pasien bedah sesar mempengaruhi prognosa dan komplikasi pasien pasca operasi. Beberapa hal seperti keadaan kehamilan, keadaan umum pasien pra-pembedahan, dan tingkat kemampuan ahli anestesi yang ada berpengaruh terhadap jenis anestesi yang akan dilakukan.
Pemilihan teknik anestesi bukan hanya mempengaruhi keadaan ibu selama dan pasca pembedahan, tetapi juga keadaan bayi. Oleh karena itu selama pembedahan sesar, seorang ahli anestesi yang membantu, harus memikirkan bahwa saat itu dia memiliki dua pasien yaitu sang ibu dan bayinya.
Ada banyak kemungkinan komplikasi yang dapat muncul pada ibu akibat pemberian anestesi saat bedah sesar. Komplikasi yang mungkin timbul pada ibu yang mendapat anestesi regional saat pembedahan adalah hipotensi, postdural puncture headache (PDPH), gangguan persarafan, anestesi spinal total, dan kejang yang diinduksi oleh anestetik lokal. (3) Komplikasi lain yang mungkin timbul dari anestesi general adalah aspirasi paru dan meningkatnya resiko muntah pasca-operasi. Data juga menunjukkan bahwa anestesi umum memiliki tingkat mortalitas pada pasien seksio sesarea kira-kira tujuh belas kali lebih banyak daripada pasien seksio dengan anestesi regional.(3) Dapat disimpulkan bahwa pemilihan teknik anestesi yang tepat pada seksio sesarea sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses persalinan tersebut.
Hal yang dikhawatirkan pada pemberian anestesi pada ibu hamil saat pembedahan adalah paparan agen anestesi yang dapat mempengaruhi janin, karena dapat menembus sawar plasenta. Untuk itu, selalu dilakukan pemantauan pada bayi pasca bedah sesar. Cara pemantauan atau penilaian keadaan bayi yang paling umum dilakukan adalah dengan menggunakan nilai APGAR.(4)
Nilai APGAR pada neonatus sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh pemberian anestesi. Kecenderungan rendahnya nilai APGAR pada menit pertama setelah kelahiran lebih dikarenakan terlambat dikeluarkannya fetus atau memanjangnya waktu insisi uterus sampai ke pengeluaran fetus.(5)
Menurut penelitian, fetus harus dikeluarkan dari rahim pasien paling lambat setelah seratus delapan puluh detik (3 menit) dilakukannya insisi pada abdomen pasien (incision-to-delivery interval / I-D interval). Jika lebih dari tiga menit, bayi akan lebih cenderung menderita asfiksi. (3),(6)
Faktor-faktor lain yang membuat nilai APGAR bayi menjadi rendah antara lain adalah ketidak-matangan janin (bayi lahir prematur) dan kelainan-kelainan kongenital yang dimiliki bayi tersebut.(4) Dari pihak ibu sendiri juga terdapat faktor yang mempengaruhi nilai APGAR bayi, yaitu usia ibu saat hamil serta penyakit kronis yang dimiliki.
Faktor-faktor seperti usia bayi yang prematur, penyakit kronis ibu, usia ibu saat hamil, dan kelainan kongenital bayi hampir tidak dapat dimanipulasi. Oleh karena itu, untuk mengusahakan agar bayi dapat dilahirkan dengan kondisi baik, yang dapat kita lakukan adalah mengusahakan agar pembedahan dan pemberian anestesi tidak mengganggu aliran darah uteroplasental. Aliran darah uteroplasental yang baik dapat menjamin kondisi bayi saat lahir akan baik pula.
Aliran darah uteroplasental dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pemberian anestesi pada ibu saat bedah sesar. Zat anestesi yang dapat menembus sawar uteroplasental dan teknik anestesi tertentu dapat meningkatkan resiko menurunnya perfusi darah pada janin. Hal ini yang menyebabkan terjadinya asfiksi pada bayi dan berakibat pada menurunnya nilai APGAR.
Bayi, yang ibunya mendapatkan anestesi regional saat bedah sesar, lebih sedikit terpapar zat-zat sedatif yang terkandung dalam agen anestesi sehingga, menurut beberapa sumber, nilai APGAR- nya dalam 1 menit pertama kebanyakan lebih baik daripada ibu dengan anestesi umum.(7, 8)
Sesuai dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai teknik anestesi yang digunakan pada pasien-pasien bedah sesar yang berobat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan hubungannya dengan nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5 pada bayi yang dilahirkan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang ingin dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana gambaran nilai APGAR bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar dengan menggunakan teknik anestesi regional dan yang menggunakan teknik anestesi umum?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Maksud
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji teknik anestesi umum dan anestesi regional terhadap nilai APGAR dari bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar elektif selama tahun 2008 di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

1.3.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan nilai APGAR dari bayi yang dilahirkan melalui bedah sesar elektif menggunakan anestesi umum dan anestesi regional.



1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mengetahui perbandingan teknik anestesi umum dan anestesi regional (spinal dan epidural) pada bedah sesar terhadap nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5.
Selain itu, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, rekan-rekan mahasiswa, serta pihak-pihak yang berkepentingan.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan
2.1.1 Perubahan Hematologi
Wanita hamil akan mengalami peningkatan volume darah kira-kira sebanyak 30% dari total volume awal. Peningkatan umunya terjadi pada pertengahan akhir kehamilan.(9) Peningkatan volume darah ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perfusi darah pada uterus yang membesar dan mengalami hipertropi vaskuler, untuk menjaga ibu dan fetus dari gejala menurunnya aliran darah balik pada ibu saat supinasi atau berdiri, dan untuk menjaga ibu dari efek kehilangan darah yang merugikan saat partus.(1)
Aldosteron dan estrogen berpengaruh besar terhadap peningkatan volume darah ibu selama kehamilan. Sekresi kedua hormon tersebut merangsang retensi cairan oleh ginjal sehingga jumlah cairan dalam tubuh yang diekskresi lebih sedikit dan lebih banyak yang diserap kembali masuk ke dalam pembuluh darah.(9)
Hemoglobin dan hematokrit ibu akan menurun selama kehamilan. Hal ini dikarenakan yang terjadi sebenarnya adalah peningkatan plasma darah ibu, yang tidak diimbangi dengan peningkatan pembentukan sel darah merah yang memadai.(1) Saat hamil, plasma darah meningkat kira-kira 50% sedangkan sel darah merah hanya mengalami peningkatan sebanyak 20%.(10) Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis.


2.1.2 Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler
Mulai minggu ke-5 kehamilan, curah jantung mengalami peningkatan hingga mencapai 40% pada minggu ke- 36 sampai minggu ke-38 gestasi.(10) Peningkatan ini terjadi akibat dari menurunnya resistensi vaskuler sistemik sebanyak 20% dan peningkatan dari denyut jantung.(1, 9, 10)
Tekanan darah arteri pada wanita hamil akan berbeda pada saat berbaring dan saat berdiri. Tekanan darah yang biasanya berubah adalah tekanan darah arteri femoral, sedangkan tekanan darah pada daerah antekubital tidak mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan pada saat ibu tersebut berdiri, terjadi stagnasi dari aliran darah balik ke vena akibat adanya pembesaran uterus yang mengoklusi vena kava inferior dan vena-vena di bagian pelvis.(1)
Hal lain yang terjadi pada periode akhir kehamilan adalah hipotensi pada saat supinasi. Hipotensi ini terjadi karena uterus yang membesar akan menekan vena kava inferior sehingga aliran darah balik menjadi terhambat. Gejala-gejala ini sering disebut supine hypotensive syndrome. (1)

2.1.2.1 Aliran Darah Uteroplasenta
Plasenta berfungsi untuk mensekresi hormon dan enzim ke darah ibu. Selain itu, plasenta berfungsi sebagai organ untuk mentranspor nutrisi dan hasil metabolism fetus, juga untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Walaupun plasenta berasal dari fetus, namun plasenta sepenuhnya bergantung pada darah ibu untuk mendapatkan nutrisi.(11)
Perfusi uteroplasenta bergantung pada arteri uterina dan arteri ovarica. Arteri uterina lebih memegang peranan penting untuk mensuplai darah ke uterus.
Tekanan darah arteri ibu, kira-kira 60-70 mmHg, menyebabkan terjadinya aliran darah ke intervillous space yang tekanannya hanya 20 mmHg. Sedangkan darah vena cenderung mengalir di sepanjang basal plate lalu keluar ke venula dan mencapai vena ibu. Kedua keadaan ini mengakibatkan adanya transfer nutrisi dan hasil metabolisme antara ibu dan bayinya.(11)
Fetus relatif hipoksik terhadap keadaan oksigen ibu, namun belum mencapai tahap asidosis. Ada tiga faktor yang memperngaruhinya, yaitu tingginya kadar hemoglobin pada fetus, tingginya curah jantung fetus, dan tingginya kemampuan fetal hemoglobin untuk mengikat oksigen.(12) Oleh karena itu suplai darah yang baik antara ibu dengan fetus sangat diperlukan untuk mencegah fetus kekurangan oksigen saat dalam kandungan.
Secara klinis, perfusi plasenta dipengaruhi oleh banyak perubahan fisiologis dari ibu atau janinnya. Ketika tekanan darah ibu menurun, akan terjadi peningkatan volum plasma untuk mengkompensasinya. Peningkatan ritme kontraksi uterus akan menguntungkan perfusi ke plasenta. Begitu pula sebaliknya.(11)

2.1.3 Perubahan pada Sistem Respirasi
Uterus yang membesar mendorong diafragma untuk naik kurang lebih 4 cm dari posisi asalnya. Kenaikan diafragma mengurangi kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga akan mengurangi jumlah udara residu yang ada di paru-paru sebanyak 25%.(1) Selain itu, progesterone menyebabkan volume udara tidal paru ibu meningkat 40%. Kedua hal tersebut menyebabkan ibu hamil bernapas lebih dalam karena terjadi percampuran dari udara teroksigenasi dengan sedikit udara karbon terdeoksigenasi. Keadaan ini disebut sebagai hiperventilasi dan perlu diperhatikan saat pemberian anestesi umum. Hiperventilasi akan menurunkan cadangan oksigen sehingga hipoksia dapat terjadi lebih cepat. Pada pemberian anestesi umum, keadaan hiperventilasi akan mempercepat induksi anestesi dan pengembalian kesadaran setelah anestesi.(10)
Selama kehamilan, terjadi juga pembengkakan pembuluh darah di mukosa sepanjang traktus respiratorius. Pembengkakan ini menyebabkan bukaan glottis menjadi lebih sempit. Akibatnya adala sulitnya dilakukan intubasi, terlebih saat persalinan.(13) Kesulitan intubasi akan mempengaruhi kadar oksigen yang didapat ibu saat melahirkan. Jika oksigen yang didapat oleh ibu tidak adekuat, maka akan berpengaruh pada bayi.

2.1.4 Perubahan pada Sistem Urinarius
Telah dijelaskan bahwa pada kehamilan, volume darah ibu akan meningkat. Untuk mengimbangi hal itu, maka harus ada mekanisme dimana air dan elektrolit diekskresikan. Pada awal trimester kedua, kecepatan filtrasi glomerulus aliran plasma ke ginjal akan meningkat sebanyak 50% dan akan terjadi peningkatan sampai akhir trimester ketiga. Sehingga biasanya ibu hanya akan mengalami penambahan air dan garam sekitar 6 pon saat kehamilan.(1, 9)

2.1.5 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Penyebab utama perubahan pada sistem gastrointestinal dari wanita hamil adalah keadaan hipotonus yang menyebabkan menurunnya motilitas lambung dan peningkatan waktu pengosongan lambung. Hal ini diakibatkan oleh perubahan posisi anatomi lambung akibat pembesaran uterus.(10) Waktu pengosongan lambung (gastric emptying time) akan menjadi lebih lama pada saat kehamilan dan akibat dari keadaan hipotonus tersebut, pH dari asam lambung akan menjadi lebih rendah. Oleh karena itu bahaya yang utama saat pemberian anestesi umum pada ibu hamil adalah adanya regurgitasi atau aspirasi dari makanan atau asam lambung.(1, 10)

2.1.6 Perubahan Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Perifer
Saat kehamilan, Minimum Alveolar Concentration (MAC) akan menurun kira-kira 40%. Etiologi mengapa MAC menurun belum diketahui pasti, namun penurunan MAC ini akan menyebabkan meningkatnya nilai ambang batas rasa nyeri atau analgesi yang diinduksi kehamilan.(13)
Pasien – pasien yang sedang mengandung membutuhkan anestesi lokal yang lebih sedikit dibandingkan pasien yang tidak sedang mengandung. Diperkirakan bahwa peningkatan progesteron membuat pasien lebih sensitif terhadap zat-zat anestesi lokal. Vena epidural yang terdistensi membantu menghambat hilangnya agen anestesi melalui intrevertebral foramina sehingga dosis efektif dapat diturunkan. Serebrospinal likuor pada ibu hamil juga mengandung lebih sedikit protein, sehingga lebih banyak fraksi dari anestesi lokal yang tidak terikat dan hasilnya adalah lebih banyak obat-obatan yang aktif.(13, 14)

2.2 Anestesi
Anestesi memerlukan penggunaan obat-obatan tertentu dengan cara tertentu untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan sementara meminimalisasi efek samping yang tidak diharapkan, maupun toksisitas. Keadaan anestesi diikuti dengan adanya keadaan analgesia, amnesia, hypnosis, dan relaksasi otot.(15)

2.2.1 Anestesi Regional
2.2.1.1 Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi lokal pada likuor serebro-spinal di daerah lumbar.(16) Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang menjadi pilihan di saat darurat karena teknik ini memiliki waktu mula yang cepat, mudah dilakukan, dan menghasilkan keadaan anestesi yang memuaskan.(17) Namun kelemahannya adalah teknik ini memiliki tingkat hipotensi pada ibu yang lebih tinggi dibandingkan teknik anestesi epidural.
Anestesi spinal dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan pasien. Persiapan dilakukan antara lain dengan memberikan antasida pada pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi pulmonal.
Secara umum, pasien diposisikan pada posisi dekubitus lateral. Namun terkadang pasien diposisikan duduk jika pasien tersebut termasuk dalam kategori obesitas.(3)
Selanjutnya, ahli anestesi akan menentukan letak dimana jarum dimasukkan. Biasanya dipilih antara lain daerah antara L2-3 atau L3-4 atau L4-5. Setelah itu introducer dimasukkan, dan setelah yakin bahwa daerah tersebut aman dari pembuluh darah, maka zat anestesi pun diinjeksikan. (3)

2.2.1.2 Anestesi Epidural
Anestesi epidural memiliki waktu mula yang lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal. Selain itu, jumlah zat yang diperlukan untuk mendapatkan efek anestesi yang memadai juga lebih banyak.
Penggunaan agen anestesi juga perlu diperhatikan karena terkadang, tanpa sengaja, agen anestesi tersebut masuk ke intravaskuler. Efek yang terjadi karena hal tersebut tidak hanya berupa kejang tetapi juga dapat mengakibatkan berhentinya detak jantung (cardiac arrest).
Keuntungan dari epidural anestesi adalah kejadian post-dural puncture headache pada teknik ini jauh lebih rendah. Selain itu, karena teknik ini menggunakan kateter epidural, ahli anestesi dapat mentitrasi berapa banyak zat yang digunakan. Semakin tepat dosis yang digunakan, artinya semakin dosis yang digunakan sesuai dengan yang pasien perlukan, maka semakin sedikit komplikasi yang mungkin akan terjadi.

2.2.1.3 Agen Anestesi yang Digunakan Pada Anestesi Regional
Agen anestesi yang biasa digunakan untuk anestesi regional adalah larutan hiperbarik bupivacaine. Selain bupivacaine, agen anestesi yang sering digunakan adalah lidocaine atau tetracaine.(6) Namun, di RSUP Dr. Hasan Sadikin, yang lebih sering digunakan adalah lidocaine atau bupivacaine.
Bupivacaine memiliki waktu paruh tiga setengah jam, sedangkan lidocaine memiliki waktu paruh kira-kira hanya setengahnya saja (1.6 jam). Sehingga, bupivacaine lebih banyak digunakan untuk mendapatkan efek anestesi yang lebih panjang. (16)
Cara kerjanya adalah dengan memblok saluran kalsium yang berada di ujung membran presinaptik.(16) Ketika potensial aksi mendepolarisasi membran presinaptik dan saluran kalsium terhambat, maka tidak ada substansi transmiter yang dilepaskan dari terminal presinaptik ke synaptic cleft sehingga tidak ada impuls yang disampaikan.(9)
Anestesi lokal seperti mempunyai efek samping terhadap sistem kardiovaskular tubuh. Kerja anestesi lokal terutama mempengaruhi miokardium jantung sehingga terjadi penurunan eksitabilitas elektrik, derajat konduksi, dan kontraksi. Bupivacaine lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan lidocaine pada tingkat dosis efektif yang sama dan dapat menyebabkan ventricular arrhythmia serta depresi miokardial jika diberikan dalam dosis tinggi. Intoksikasi oleh bupivacaine tergolong sulit untuk diobati.(16, 18)
Untuk mendapatkan efek anestesi perioperatif, biasanya ditambahkan zat-zat adjuvant pada agen-agen anestesi tersebut. Penambahan zat tersebut membantu pasien merasa lebih nyaman setelah tindakan operasi.

2.2.2 Anestesi Umum
Anestesi umum adalah suatu kondisi yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaksadaran, analgesia (hilangnya kemampuan merasakan nyeri), relaksasi otot, dan ditekannya refleks-refleks tubuh. (19) Anestesi umum dilakukan jika terdapat kontraindikasi terhadap anestesi regional, adanya kegawat-daruratan, antisipasi kehilangan darah yang banyak, dan diperlukan uterus yang relaksasi saat pembedahan.

2.2.2.1 Teknik Anestesi Umum
Anestesi umum dilakukan melalui empat tahapan, yaitu persiapan, induksi, rumatan, dan pemulihan. Pada tahap persiapan, pasien diberikan antasida atau ranitidine, cimetidine, atau metoclorpramide. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi asam lambung ke paru-paru. Pada fase ini juga, pasien diposisikan supinasi.(13, 19)
Pada tahap induksi, agen anestesi mulai diberikan pada pasien. Agen anestesi yang digunakan dapat berupa agen yang volatil atau non-volatil. Di fase ini, kesadaran pasien mulai menghilang.(19)
Setelah itu pasien akan memasuki fase rumatan. Fase rumatan dimulai sejak pasien berada dalam kondisi anestesi penuh dan berakhir saat pasien mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Pada fase ini pasien tidak dapat merasakan nyeri, kehilangan kesadaran, namun fungsi organ masih adekuat. Respon stress pasien, kadar keseimbangan elektrolit dan cairan, serta temperatur tubuh berada dalam kondisi stabil (19)
Fase terakhir adalah fase pemulihan. Dalam fase ini dapat dikatakan bahwa terjadi mekanisme pengembalian kemampuan pasien untuk mengatur fungsi vital tubuhnya. Kemampuan pasien untuk kembali sadar ditentukan terutama oleh hilangnya paparan obat-obatan anestesi dari otak.(19)

2.2.2.2 Agen Anestesi yang Digunakan pada Anestesi Umum
Agen-agen anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu agen sedatif, agen analgesi, dan agen pelemas otot.(20)
1. Agen sedatif
Agen sedatif dikelompokkan menjadi agen anestesi intravena dan agen anestesi inhalasi. Agen anestesi intravena antara lain golongan barbiturate (sodium thiopenthal, methohexital), propofol, etomidate, dan ketamine. Karena agen-agen intravena lebih bersifat lipofilik, maka perfusi ke otak dan medulla spinalis akan lebih tinggi sehingga waktu mula anestesi lebih cepat.
Agen anestesi inhalasi antara lain halothane, isoflurane, enflurane, desflurane, sevolurane, dan nitrous oxide.
2. Agen analgetik
Agen anestesi intravena atau inhalasi umumnya tidak berfungsi baik sebagai analgetik kecuali jenis ketamine sehingga saat mengerjakan anestesi umum, biasanya diperlukan juga tambahan agen analgetik seperti fentanyl, sufentanil, alfentanil, meperidine, dan morfin. Agen-agen analgetik tersebut memiliki efek analgesi dan efek samping yang sama, sehingga pemilihan agen analgetik lebih dititikberatkan pada lama kerja agen tersebut. Efek samping akibat pemakaian agen-agen ini adalah rasa mual, muntah, dan pruritus.
3. Agen Pelemas Otot
Agen pelemas otot digunakan saat induksi anestesi untuk melemaskan otot-otot rahang, leher, dan saluran napas sehingga memudahkan dilakukannya laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Agen pelemas otot dikategorikan menjadi agen yang mendepolarisasi (succinylcholine) atau agen yang tidak mendepolarisasi (pancuronium, pipecuronium, vecuronium, dan lain-lain).

2.2.2.3 Keuntungan dan Kerugian dari Anestesi Umum
Keuntungan penggunaan anestesi umum pada bedah sesar antara lain adalah waktu mula yang cepat, adanya pengaturan penuh terhadap ventilasi dan jalan napas oleh ahli anestesi, dan lebih sedikitnya insidensi hipotensi yang terjadi pada pasien hipovolemi.(6, 13)
Beberapa kerugian yang signifikan pada teknik anestesi umum yaitu gagal dilakukannya intubasi sehingga meningkatan morbiditas dan mortalitas pasien bedah sesar. Anestesi umum juga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pulmonal yang lebih tinggi. Dan yang paling berbahaya adalah anestesi umum dapat meyebabkan depresi pada fetal.(6, 13) Depresi fetal inilah yang mengakibatkan bayi yang ibunya mendapatkan anestesi umum saat bedah sesar, lebih cenderung menderita asfiksi.

2.2.3 Bedah Sesar
Bedah sesar atau seksio sesarea adalah cara pengeluaran janin dari tubuh ibu dengan jalan meninsisi dinding abdomen dan dinding uterus ibu. (1)

2.2.3.1 Indikasi Bedah Sesar
Ada banyak indikasi untuk melakukan bedah sesar. Indikasi bedah sesar dibedakan menjadi indikasi fetal, indikasi maternal, dan indikasi gabungan dari keduanya.(21)
· Indikasi fetal
Indikasi yang dikarenakan oleh fetus antara lain fetal distress, bayi dalam posisi sungsang, ibu terkena infeksi aktif dari virus herpes simpleks (HSV), adanya anomali pada fetus yang tidak memungkinkannya lahir normal melalui persalinan per-vaginam.
· Indikasi maternal
Indikasi yang disebabkan gangguan pada ibu antara lain adanya obstruksi pada traktus genital bagian bawah, kembar siam, pernah mengalami bedah sesar sebelumnya, atau pernah mengalami pembedahan di uterus.
· Indikasi fetal dan maternal
Indikasi yang dipengaruhi oleh ibu dan fetus antara lain plasenta previa dan vasa previa, abruptio placenta, distosia atau cephalopelvic disproportion.

2.2.3.2 Teknik Bedah Sesar
Sebelum bedah sesar dilakukan, biasanya dilakukan persiapan pada pasien. Persiapan yang dilakukan antara lain menjaga kondisi cairan tubuh pasien dan memperbaiki jika terjadi anemia.(22) Kedua keadaan ini diperuntukkan agar kejadian syok pada pasien saat operasi menjadi lebih menurun dan mengurangi komplikasi lainnya.
Bedah sesar dikelompikkan berdasarkan dua jenis teknik insisi, yaitu insisi vertikal atau insisi transversal. Pada teknik insisi vertikal, dilakukan penyayatan di bawah umbilicus secara vertikal. Sedangkan pada teknik insisi transversal, insisi dilakukan setinggi garis rambut pubis dan diperpanjang hingga batas lateral musculus rectus. Terkadang insisi dilakukan dengan variasi khusus jika terjadi penyulit yang tidak terantisipasi.(1, 22)

2.2.3.3 Keuntungan dan Kerugian Bedah Sesar
Selayaknya tindakan bedah yang lain, bedah sesar memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Keuntungan yang didapat ibu dalam jangka waktu yang panjang antara lain adalah proteksi terhadap otot-otot dasar panggul sehingga mengurangi insidensi inkontinensia feses, flatus, dan urin, juga menurunkan kejadian prolapsus dari organ-organ di pelvis. Pada bayi, tindakan bedah sesar menurunkan resiko menularnya penyakit dari ibu dengan HIV, hepatitis B, dan lain-lain. Cerebral palsy akibat distosia, fraktur, dan cedera saraf bayi akibat tekanan saat partus normal juga dapat dicegah dengan melakukan tindakan bedah sesar.(23)
Kerugian dari bedah sesar antara lain adalah meningkatnya resiko rawat inap bagi ibu setelah pembedahan jika dibandingkan dengan persalinan normal. Ibu juga cenderung mengalami depresi postpartum dan perasaan bersalah karena kehilangan pengalaman melahirkan secara normal. Bagi bayi yang dilahirkan, bedah sesar lebih cenderung mengakibatkan gangguan pernapasan seperti respiratory acidosis akibat hipotensi ibu yang dikarenakan oleh pemberian anestesi.(23)

2.2.4 Nilai APGAR
Nilai APGAR adalah suatu metode praktis untuk memeriksa bayi yang baru lahir secara sistematis untuk membantu mengidentifikasi perlunya resusitasi dan memprediksi kemampuan bertahan hidup bayi tersebut pada masa neonatusnya. APGAR adalah singkatan dari A = Appearance, P = Pulse, G = Grimace, A = Activity, dan R = Respiratory.(4)
Nilai APGAR pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Virginia Apgar dan dipublikasikan pada tahun 1953.(24, 25) Dr. Virginia Apgar mengajukan ide untuk menggunakan sistem penilaian terhadap denyut jantung, usaha bernapas, tonus otot, respons saat kateter dimasukkan ke lubang hidung, dan warna kulit bayi untuk membantu memudahkan penanganan pada bayi baru lahir. (4)
Nilai APGAR diambil pada menit ke-1 dan ke-5 setelah bayi dilahirkan. Nilai APGAR menit pertama, jika rendah, berkaitan dengan adanya asidosis pada neonatus. Sedangkan nilai APGAR pada menit ke-5 berhubungan dengan fungsi neurologis. (4)
Setiap komponen pada nilai APGAR diberi nilai antara 0 sampai 2. Cara penilaian yang dilakukan adalah sebagai berikut:(26)
Kriteria Penilaian
0
1
2
Appearance (warna)
biru atau pucat
badan berwarna pink, tetapi anggota gerak berwarna biru
pink seluruh tubuh
Pulse (nadi)
tidak teraba
<100 kali per menit
>100 kali per menit
Grimace (refleks iritabilitas)
tidak ada respon
menyeringai
menangis
Activity (tonus otot)
lemah
sedikit fleksi
bergerak aktif
Respiration (respirasi)
tidak bernapas
bernapas dangkal dan irregular
bernapas baik, menangis

Nilai APGAR adalah penjumlahan dari kelima komponen tersebut. Jika total nilai dari kelima komponen tersebut lebih besar dari 7, maka dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut ada dalam keadaan baik.(25)
Nilai APGAR dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:(6)
· Faktor ibu
Hipotensi pada ibu hamil akan menyebabkan kurangnya aliran darah ke uterus sehingga perfusi uteroplasentalnya juga akan menurun. Pemberian anestesi yang terlalu dalam pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan hipoksia ibu dan konsekuensinya adalah hipoksia janin. Kedua hal tersebut akan menurunkan ni lai APGAR bayi.
· Faktor plasenta
Pada keadaan preeclampsia, dimana terjadi insufisiensi perfusi uteroplasenta, transfer oksigen ke janin akan menurun.
· Faktor janin
Apabila umbilikus mengalami tekanan karena terlilit leher, maka aliran darah ke umbilikus akan tergagngu dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
· Faktor bayi baru lahir
Anestesi berlebih pada ibu akan menembus sawar plasenta sehingga menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat janin. Bila terjadi trauma, seperti perdarahan intracranial atau kelainan kongenital seperti atresia saluran pernapasan, juga dapat menurunkan nilai APGAR.
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian
Data diambil dari rekam medis pasien bedah sesar di bagian obstetri dan ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin. Rekam medis yang digunakan adalah rekam medis dari pasien-pasien bedah sesar bulan Januari 2007 sampai dengan bulan desember 2008 (dua tahun berturut-turut) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
1. Usia kehamilan antara 37 – 42 minggu.
2. Kehamilan tunggal.
3. Usia ibu 20 – 40 tahun.
4. Bedah sesar elektif

Kriteria eksklusi:
1. Adanya gawat janin atau fetal distress
2. Adanya eklampsia atau pre-eklampsia pada ibu
3. Adanya cacat bawaan pada bayi
4. Adanya penyakit kronis pada ibu seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan gangguan paru-paru.

3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi tipe dan rancangan penelitian juga teknik analisis data.
3.2.1 Tipe dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospective cross-sectional.
3.2.2 Tatacara Penelitian
Data diperoleh dari rekam medis pasien yang menjalani operasi bedah sesar elektif dengan teknik anestesi umum atau anestesi regional di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari sampai Desember 2008.
Data yang diambil meliputi:
1. Usia pasien
2. Umur kehamilan
3. Tinggi badan
4. Berat badan
5. Jenis anestesi yang digunakan saat bedah sesar
6. Nilai APGAR menit pertama dan menit ke-5

3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Penulisan proposal penelitian
Proposal penelitian ini mulai disusun sejak tanggal 9 Februari 2009 sampai dengan 11 Februari 2009.
2. Pengambilan data
Pengambilan data sekunder di bagian obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan bulan April 2009.
3. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan setelah data selesai dikumpulkan.
4. Penyajian hasil
Hasil disajikan dalam bentuk laporan dimulai sejak proposal penelitian disetujui sampai dengan bulan Mei 2009.
3.4 Teknik Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis dengan uji statistik menggunakan program SPSS 15.0 for Windows. Uji statistik yang dilakukan adalah uji T, dan uji Mann-Whitney. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5% dan dianggap bermakna bila p>0.05. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk rata-rata (mean).

3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2009 sampai dengan bulan April 2009. Penelitian dilakukan di bagian obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Data diambil dari 123 pasien yang menjalani operasi bedah sesar elektif. Terdapat dua kelompok yang dibandingkan, yaitu kelompok yang mendapat anestesi umum dan kelompok yang mendapat anestesi regional. Data karakteristik umum dan simpangan baku subjek terlihat pada table di bawah ini.
Tabel 4.1 Nilai Rata-rata dan Simpang Baku Karakteristik Umum Subjek Penelitian pada Tiap-tiap Kelompok
Karakteristik
Anestesi Regional
(n= 75)
Anestesi Umum
(n= 47)
Kemaknaan
Umur pasien
x(SD)
Rentang
Tinggi badan
x(SD)
Rentang
Berat badan
x(SD)
Rentang
BMI
x (SD)
Rentang

28.2 (5.4)
20 – 40

153.2 (5.8)
140 – 168

63.7 (8.6)
47 – 95

27.2 (3.8)
19.5 – 39.9

28.2 (5.4)
20 - 40

152.2 (5.9)
140 – 168

66.6 (13.3)
44 – 118

28.6 (4.7)
19.6 – 47.3

t = 1.18
p = 0.241

t = 0.87
p = 0.385

t = 1.44
p = 0.153

t = 1.83
p = 0.070

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua variable yang diperbandingkan pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) dalam hal usia, tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh (body mass index / BMI). Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diambil adalah homogen dan layak untuk diperbandingkan.

4.1.2 Nilai APGAR pada Kelompok Anestesi Umum dan Anestesi Regional
Tabel di bawah ini menunjukkan nilai APGAR bayi pada menit ke-1 dan menit ke-5 antara kelompok yang ibunya mendapatkan anestesi umum dan anestesi regional.
Tabel 4.2 Nilai APGAR pada Menit ke-1 dan Menit ke-5 pada Kedua Kelompok

Anestesi Regional
Anestesi Umum
Kemaknaan
APGAR 1’
1
3
5
6
7
8

APGAR 5’
3
5
6
7
8


-
-
1
6
12
56


1
-
-
2
72

1
4
-
18
6
18


1
2
10
1
33

ZM-W = 4.6
p = 0.000






ZM-W = 4.0
p = 0.000

Didapatkan perbedaan yang signifikan pada nilai APGAR menit ke-1 dan menit ke-5 pada kelompok anestesi umum dan anestesi regional. Terlihat bahwa nilai APGAR pada perlakuan anestesi regional cenderung lebih besar dibandingkan nilai APGAR pada anestesi umum.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Gambaran Umum
Dari nilai rata-rata dan simpangan baku karakteristik umum subjek penelitian pada tiap-tiap kelompok (tabel 4.1) dapat disimpulkan bahwa umur, tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Sehingga, secara statistik, sampel yang diambil layak untuk diperbandingkan.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno, Kenneth. J., Bloom, Steven L., et al. Williams Obstetrics. 22 ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
2. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29 ed. Jakarta: EGC; 2002.
3. Santos AC, Braveman, Ferne R., Finster, Mieczyslaw. Obstetric Anesthesia. In: Barash PG, Cullen, Bruce F.,Stoelting, Robert K., editor. Clinical Anesthesia. 5th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Stoll BJ, Kliegman, Robert M. The Newborn Infant. In: Behrman RE, Kliegman, Robert M., Jenson, Hal B., editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia: Saunders; 2004.
5. Backe SK. Oxygen and Elective Cesarean Section. British Journal of Anaesthesia. 2002;11.
6. Morgan GE, Jr., Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. . Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007.
7. Dyer RA, Els, I., Farbas, J., et al. Prospective, Randomized Trial Comparing General with Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery in Preeclamptic Patients with A Nonreassuring Fetal Heart Trace. Anesthesiology. 2003 September;99(3):567-8.
8. Mark LC. The Dilemma of General Anesthesia for Cesarean Section : Adequate Fetal Oxygenation vs. Maternal Awareness during Operation. Anesthesiology. 1982;56:405-6.
9. Guyton AC, Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9 ed. Jakarta: EGC; 1997.
10. Gilbert ES. Manual of High Risk Pregnancy & Delivery. 4 ed. New Delhi: Mosby Inc.; 2007.
11. Laughlin D, Knuppel, Robert A. Maternal - Placental - Fetal Unit; Fetal & Early Neonatal Physiology. In: DeCherney AH, Nathan, Lauren., editor. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9 ed. New York: The McGrw-hill; 2003.
12. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6 ed. Toronto: Churchill Livingstone Inc.; 2003.
13. Min J, Haddad, Tania. Anesthesia for Obstetrics and Gynecology. In: Hurford WE, Bailin, Michael T., Davison, J.K., et al, editor. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 6 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
14. Strichartz GR, Berde, Charles B. Local Anesthetics. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
15. Schwinn DA, Watkins, David W., Leslie, John B. Basic Principles of Pharmacology Related to Anesthesia. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
16. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 10 ed. New York: Lange; 2007.
17. Wilson I, Allman, Keith. Oxford Handbook of Anesthesia. Oxford: Oxford University Press; 2001.
18. Catterall WA, Mackie, Kenneth. Local Anesthethics. In: Brunton LL, Lazo, John S., Parker, Keith L., editor. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therpeutics. 11 ed. New York: The McGraw-Hill; 2006.
19. Willenbin RL, Polk, Susan L. Management of General Anesthesia. In: Miller RD, editor. Anesthesia. 4 ed. New York: Churchill Livingstone Inc.; 1994.
20. Evers AS, Crowder, C. Michael., Balser, Jeffrey R. General Anesthetics. In: Brunton LL, Lazo, John S., Parker, Keith L., editor. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutics. 11 ed. New York: The McGraw-Hill; 2006.
21. Hearne AE, Driggers, Rita. Normal Labor and Delivery, Operative Delivery, and Malpresentations. In: Bankowski BJ, Hearne, Amy E., Lambrou, Nicholas C., et al, editor. The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
22. Porter TF, Scott, James R. Cesarean Delivery. In: Scott JR, Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y., editor. Danforth's Obstetrics and Gynecology. 9 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins 2003.
23. Minkoff H, Charvenak, Frank A. Elective Primary Cesarean Delivery. The New England Journal of Medicine. 2003 February, 18;348:946.
24. Fox HE. APGAR: A Commentary. P&S Journal. 1994 Maret 1(2).
25. Casey BM, McIntire, Donald D., Leveno, Kenneth J. The Continuing Value of The APGAR Score for The Assessment of Newborn Infants. The New England Journal of Medicine. 2001;344:467.
26. Alessandrini EA. Neonatal Resuscitation. In: Fleisher GR, Ludwig S., Silverman, Benjamin K., Henretig, Fred M., editor. Textbook of Pediatric Emergency Medicine. 4 ed. New York: Lippincott, Williams & Wilkins; 2000.

Selasa, 07 Oktober 2008

COPD summary from GOLD

Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Definition:
a disease state characterized by airflow limitation that is not fully reversible. The airflow limitation is usually both progressive and associated with an abnormal inflammatory response of the lungs to noxious particles or gases.

Characteristic of COPD is caused by a mixture of:
1. small airway disease (obstructive bronchiolitis) à causing narrowing & remodeling of small airways.
2. and parenchymal destruction (emphysema)à leads to the loss of alveolar attachments to the small airways and decreases lung elastic recoil; in turn, these changes diminish the ability of the airways to remain open during expiration
Note:
· Emphysema = destruction of the gas exchanging surfaces of the lung.
· Chronic bronchitis = presence of cough and sputum production for at least 3 months in each of two consecutive years
Stage Characteristics
0: At Risk
• normal spirometry
• chronic symptoms (cough, sputum production)

I: Mild COPD
• FEV1/FVC < 70%
• FEV1 ≥ 80% predicted
• with or without chronic symptoms (cough, sputum production)

II: Moderate COPD
• FEV1/FVC < 70%
• 50% ≤ FEV1 < 80% predicted
• with or without chronic symptoms (cough, sputum production)

III: Severe COPD
• FEV1/FVC < 70%
• 30% ≤ FEV1 < 50% predicted
• with or without chronic symptoms (cough, sputum production)

IV: Very Severe COPD
• FEV1/FVC < 70%
• FEV1 < 30% predicted or FEV1 < 50% predicted plus chronic respiratory failure

RISK FACTORS FOR COPD:
A. Host Factors
1. Genes
The genetic risk factor that is best documented is a severe hereditary deficiency of alpha-1 antitrypsin12-14, a major circulating inhibitor of serine proteases.
2. Airway Hyporesposiveness
Asthma and airway hyperresponsiveness, identified as risk factors that contribute to the development of COPD,are complex disorders related to a number of genetic and environmental factors. Airway hyperresponsiveness may also develop after exposure to tobacco smoke or other environmental insults and thus may be a result of smoking-related airway disease.
3. Lung Growth
Lung growth is related to processes occurring during gestation, birth weight, and exposures during childhood. Reduced maximal attained lung function (as measured by spirometry) may identify individuals who are at increased risk for the development of COPD
B. Exposures
1. Tobacco smoke
Age at starting to smoke, total pack-years smoked, and current smoking status are predictive of COPD mortality.
2. Occupational Dusts & Chemicals
Occupational dusts and chemicals (vapors, irritants, and fumes) can also cause COPD when the exposures are sufficiently intense or prolonged.
3. Indoor & Outdoor Air Pollution
High levels of urban air pollution are harmful to individuals with existing heart or lung disease.
4. Infections
There may be an increased diagnosis of severe infections in children who have underlying airway hyperresponsiveness, itself considered a risk factor for COPD. Viral infections may be related to another factor, such as birth weight, that is related to COPD.
5. Low Socioeconomic status
reflects exposures to indoor and outdoor air pollutants, crowding, poor nutrition,or other factors that are related to low socioeconomic status.


Symptoms for COPD :
1. Cough
Initially, the cough may be intermittent, but later is present every day, often throughout the day, and is seldom entirely nocturnal. The chronic cough in COPD may be unproductive.
2. Sputum Production
Patient with COPD commonly raise small quantities of tenacious sputum after coughing bouts. Patients may swallow sputum rather than expectorate it.
3. Dyspnea
Dyspnea, the hallmark symptom of COPD, is the reason most patients seek medical attention and is a major cause of disability and anxiety associated with the disease. Typical COPD patients describe their dyspnea as a sense of increased effort to breathe, heaviness, air hunger, or gasping.
4. Wheezing & Chest Tightness
Wheezing and chest tightness are relatively non-specific symptoms that may vary between days, and over the course of a single day. Audible wheeze may arise at a laryngeal level and need not be accompanied by ausculatory abnormalities. Alternatively, widespread inspiratory or expiratory wheezes can be present on listening to the chest. Chest tightness often follows exertion, is poorly localized, is muscular in character, and may arise from isometric contraction of the intercostal muscles.
5. Additional symptoms in severe disease
Weight loss & anorexia
Hemoptysis à in respiratory tr. Inection.
Syncope à rapid increases in intrathoracic pressure during attacks of coughing
Coughing spells may also cause rib fractures, which are sometimes asymptomatic.
symptoms of depression and/or anxiety
Ankle swelling can be the only symptomatic pointer to the development of cor pulmonale

Exacerbations

Exacerbations in Stage I & II are associated with increase breathlessness, often accompanied by increased cough and sputum production.
Exacerbations in Stage IV are associated with acute respiratory failure.
Most common causes of exacerbation: air pollution & tracheobronchial tree infection.
Development of specific immune responses to the infecting bacterial strains, and the association of neutrophilic inflammation with bacterial exacerbations also support the bacterial causation of a proportion of exacerbations.
Conditions that may mimic an exacerbation include pneumonia, congestive heart failure, pneumothorax, pleural effusion, pulmonary embolism, and arrhythmia.

Jumat, 03 Oktober 2008

Streptococcus pneumoniae

Morphology :

  • Gram positive, commonly arranged in diplococcic (although it named "streptococcus")
  • Lancet-shaped, 0.5 – 1.25 µm in diameter
  • Anaerobe bacteria
  • The older its age, it becomes more gram negative & lyses easily


s. pneumonia, taken from http://wishart.biology.ualberta.ca/BacMap/includes/species/Streptococcus_pneumoniae.png

Culture :

  • Alpha-hemolytic on blood agar
  • Growth is enhanced by 5- 10 % CO2
  • Culture is created by sputum cultured on blood agar & incubated in CO2 or a candle jar
  • Optochin sensitive

Pathogenesis:

Epithelium if nasopharynx is the primary site of colonization for S. pneumonia. When it's being aspirated and move to the lungs, it will attach to the type II pneumocytes in lungs. Then, cell walls of growing bacteria bind to epithelia, endothelia, & leukocytes. It's eliciting the production og IL-1, the separation of endothelial cells, & the accumulation of serous exudates. Pneumococci then may gain access to the systemic circulation via the pulmonary capillaries or the cervical lymphatics. The activated endothelium expresses tissue factor, PAF. Neutrophils are recruited, activation of complement, etc amplifies the recruitment of leukocytes. When bacteria begin to die, they release pneumolysin & cell wall components which stimulate further inflammation.

S. pneumoniae is a normal inhabitant of the human respiratory tract.

S. pneumonia may cause:

    * lobar type pneumonia

    * paranasal sinusitis

    * otitis media

    * meningitis

    * osteomyelitis

    * septic arthritis

    * endocarditis

    * peritonitis

    * cellulitis

    * brain abscesses

Treatment:

Penicillin remains the drug of choice!
In patients with mild to moderate disease who are candidates or oral therapy :

  • Penicillin V
  • Amoxicillin
  • Ampicillin
  • Erythromycin
  • Clindamycin
  • First or second generation of Cephalosporin

If the patient appears toxic, has moderate to severe respiratory distress, or if empyema is present, gives parenteral therapy of penicillin G (per IV) or

  • Cefuroxime IV
  • Cefotaxime Iv
  • Ceftriaxone IV
  • Ampicillin IV
  • Clindamycin IV
  • Chloramphenicol IV

Note: parenteral therapy should be continued or 48-72 hours after abatement of fever. Oral antimicrobial should be administered to complete a total 7 – 10 days therapy.

Prevention:

23-valent pneumococcal vaccine


 

Taken from :     Jawet'z Medical Microbiology

        Kendig's Pediatrics

        Todar's Online Textbook of Bacteriology


 


 

Dyspneu

Dyspneu (Gk, Dys = painful / difficult; pneuma = breath)

Dyspneu is a symptoms that alerts individuals when they are in danger of receiving inadequate ventilation; abnormal & uncomfortable awareness of breathing.

Dyspneu may occur when there is :

  1. Increased central respiratory drive secondart to hypoxia, hypercapnia, or other afferent input.
  2. Augmented requirement for the respiratory drive to overcome mechanical constraints or weakness.
  3. Altered central perception.


Modified Borg Category Scale for Rating Dyspnea

0 : nothing at all

0.5 : very, very slight (just noticeable)

1 : very slight

2 : slight

3 : moderate

4 : somewhat severe

5 : severe

6 :

7 : very severe

8 :

9 : very, very severe (almost maximal)

10 : maximal


 

Clinical Assessment in Dyspnea:

  1. Duration & onset of breathlessness
  2. Severity of breathlessness : effects in lifestyle, work, & daily activities
  3. Exacerbating factors : rest & exertion, nocturnal symptoms, body position.
  4. Associated symptoms : cough, hemoptysis, chest pain, wheeze, stridor, fever, lost of appetite & weight, ankle swelling, voice change
  5. Personal & family history of chest disease
  6. Lifetime employment, hobbies, pets, travel, smoking, illicit drug use, medications.
  7. Examination of the cardiovascular & respiratory systems

Specific Situations

Causes of Breathlessness with normal chest X-Ray :

  • Airway disease (asthma, airway obstruction, bronchiolitis)
  • Pulmonary vascular disease (pulmonary embolism, primary pulmonary hypertension, intrapulmonary shunt)
  • Early parenchymal disease (e.g. sarcoid, interstitial pneumonias, viral infection)
  • Cardiac disease (e.g. angina, arrhythmia, valvular disease, intracardiac shunt)
  • Neuromuscular weakness (e.g. Guillain-Barre syndrome)
  • Metabolic acidosis
  • Anemia
  • Thyrotoxocosis
  • Hyperventilation syndrome

Causes of Episodic / intermittent Breathlessness :

  • Asthma
  • Pulmonary oedema
  • Angina
  • Pulmonary embolism
  • Hypersensitivity pneumonitis
  • Vasculitis
  • Hyperventilation syndrome


 

Note: Dyspneu in pneumonia caused by inflammation of lung parenchyma from the respiratory bronchioles to the alveoli.

Rabu, 24 September 2008

EFEK ANTIBAKTERI INFUSA BUNGA KAMBOJA TERHADAP SHIGELLA DYSENTRIAE SECARA IN VITRO (proposal)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Obat-obatan tradisional masih merupakan pilihan utama bagi masyarakat Indonesia secara umum. Sesuai anjuran dari World Health Organization (WHO) dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, upaya kesehatan tradisional dengan obat tradisionalnya perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, dibina dan dikembangkan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 pasal (1), obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun. Pemerintah juga mendukung adanya penelitian dan pengembangan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan.1
Salah satu tanaman tradisional yang populer adalah bunga kamboja (Plumeria acuminata Ait.). Pohon kamboja telah digunakan sebagai obat sejak zaman dulu, terutama di daerah kepulauan Pasifik, Asia Timur, dan Polinesia. Khasiat bunga kamboja secara medis belum dibuktikan, tetapi secara empirik sudah banyak digunakan sebagai bahan obat.2
Seluruh bagian tanaman kamboja, seperti kulit batang, batang, daun, akar, dan bunganya memiliki khasiat obat. Kulit batangnya digunakan sebagai laksatif. Getah, daun, kulit batang, dan akar, serta seluruh bagian tumbuhan untuk mencegah pingsan akibat udara panas (heat stroke), disentri basilar, gangguan pencernaan (dyspepsia), gangguan penyerapan makanan pada anak, malnutrisi, radang hati (hepatitis infectiosa), radang saluran napas (bronchitis), jantung berdebar keras, TBC, cacingan, sembelit, kencing nanah (gonorrhea), beri-beri, busung air, kapalan (klavus), telapak kaki pecah dan bengkak, sakit gigi berlubang, luka, bisul (furunculus), patek (frambusia), serta benjolan keras (tumor).2
Bahan kimia yang terkandung pada kamboja di antaranya dammar, senyawa karet, senyawa triterpenoid, amyrin, dan lupeol. Selain itu juga, bunga kamboja mengandung geraniol, sitronellol, linallol, farnesol, dan fenil alkohol.2
Shigella dysentriae adalah bakteri yang sering menyebabkan disentri. Gejala yang dominan adalah demam disertai diare. Disentri adalah suatu sindrom yang memiliki karakteristik seringnya buang air besar (biasanya 10-30 kali per hari) dengan feces yang mengandung darah, mucus, dan pus; jenis diare ini biasanya disertai dengan kram perut yang parah. 3
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas maka penulis mengadakan penelitian untuk mengetahui Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) infusa bunga kamboja terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae. Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai manfaat bunga kamboja dalam rangka menggali potensi sumber daya alam sebagai sumber bahan obat yang murah dan mudah diperoleh.

1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di atas diidentifikasikan masalah yaitu: Berapa Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) infusa bunga kamboja terhadap Shigella dysentriae?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah mengadakan penelitian mengenai daya antibakteri infusa bunga kamboja terhadap Shigella dysentriae.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) infusa bunga kamboja sebagai antibakteri terhadap Shigella dysentriae

1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi infusa untuk menghambat pertumbuhan serta konsentrasi untuk membunuh Shigella dysentriae, dengan diketahuinya KHM serta KBM.



1.5 Kerangka Pemikiran
Pengobatan dengan memanfaatkan bunga kamboja sudah dilakukan sejak lama. Hal ini membuat bunga kamboja menjadi obat tradisional yang abadi sepanjang masa dengan cara diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat di daerah Pasifik dan Polynesia sangat percaya khasiat dari bunga ini.
Bunga kamboja mengandung senyawa triterpenoid, amyrin, lupeol, famrnesol, dan fenil alcohol yang terbukti sebagai zat anti-bakteri. Zat tersebut terbukti memiliki daya dalam menghambat dan mematikan bakteri patogen, seperti Mycobacterium tuberculosa, dan Shigella dysentriae.2
Shigella dysentriae sendiri merupakan jenis bakteri penyebab tersering disentri. Bakteri ini juga merupakan patogen nosokomial yang bersifat toksigenik yang dapat menimbulkan infeksi bila fungsi pertahanan inang abnormal.3
Penulis ingin mengeahui Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) infusa bunga kamboja terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae. Daya antibakteri dapat dilihat dengan menggunakan metode difusi agar yang menunjukkan zona hambat pertumbuhan Shigella dysentriae.4
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) adalah konsentrasi terkecil dari suatu bahan yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganise in vitro. Sedangakan Konsentrasi Bunuh Minimal adalah konsentrasi terkecil dari obat yang dapat membunuh mikroorganisme.4


BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Obat Tradisional
Dalam Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun berdasar kanpengalaman. Departemen Kesehatan menggolongkan obat tradisional sebagai jamu, fitoterapi, fitofarmaka, dan TOGA (Tanaman Obat Keluarga).1
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Istilah cara penggunaannya menggunakan pengertian farmakologi seperti diuretik, analgesik, antipiretik, dan sebagainya.1
TOGA adalah tanaman obat keluarga yang dahulu disebut sebagai Apotek Hijau. Pada pekarangan atau halaman rumah ditanam beberapa tanaman obat yang digunakan secara empirik untuk mengatasi keluhan-keluhan yang diderita.1



2.1.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga. Simplisia berupa bahan yang telah dikeringkan berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral.5
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau zat yang dipisahkan dari tanamannya yang masih belum berupa zat kimia murni.5

2.1.2 Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90OC selama 15 menit.5
Cara pembuatan infusa adalah dengan memanaskan bahan tumbuhan yang ditambahkan air suling di dalam panic infusa dengan 90OC selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Keuntungan dari proses ini adalah agar bahan aktif di dalam sel ini cepat larut karena sel akan mengalami lisis sehingga bahan aktif di dalamnya keluar. Setelah 15 menit, kemudian disaring dengan menggunakan kain flannel. Hasil saringan inilah yang nantinya digunakan sebagai obat.
Teknik infusa mempunyai beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan teknik pembuatan ekstrak yaitu karena teknik infusa lebih murah, lebih cepat, dan alat serta caranya sederhana. Sedangkan dalam pembuatan ekstrak, kandungan dari bahan tumbuhan dan pelarut yang paling tepat untuk masing-masing kandungan harus diketahui lebih dahulu. Dengan zat pelarut yang tepat, zat aktif yang diinginkan akan terpisah dari bahan aslinya dan bercampur dengan pelarut yang digunakan. Selanjutnya pemisahan zat aktif dari pelarutnya dengan lebih mudah dilakukan untuk memperoleh zat aktif yang benar-benar murni. Metodenya dikenal dengan nama Sochlet, yaitu dengan menggunakan alat percolator dan countercurrent screw extractor. Dari sini jelas terlihat bahwa metode pembuatan ekstrak lebih rumit dan mahal dibandingkan dengan metode pembuatan infusa.

2.2 Bunga Kamboja (Plumeria acuminate Ait.)
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi Plumeria acuminate Ait. Adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Genus : Plumeria
Species : Plumeria acuminate Ait.

2.2.2 Jenis dan Varietas Bunga Kamboja
Bunga kamboja memiliki beberapa spesies. Ada sekitar 8 spesies bunga kamboja yang dikenal, antara lain Plumeria alba, Plumeria inodora, Plumeria obovata, Plumeria obtusa, Plumeria pudica , dan lain-lain. Jenis yang paling dikenal adalah Plumeria rubra atau yang juga dikenal sebagai Plumeria acuminate.
Plumeria acuminate paling dikenal di Negara barat karena fungsinya sebagai hiasan. Disana, bunga ini disebut sebagai temple flower. Di Jawa, bunga ini dikenal dengan nama samboja, kamboja, atau semboja. Di Madura disebut cempaka, di Makasar disebut mbunga jene mawara. Sedangkan di Cina dikenal dengan nama Ji Dan Hua.2

2.2.3 Ciri-ciri Umum Bunga Kamboja
Bunga kamboja berwarna putih dengan corakan warna kuning atau bunga seutuhnya berwarna merah muda. Bunga ini tidak memiliki nektar,dan penyerbukkannya dibantu oleh serangga. Bunga kamboja tercium lebih wangi di malam hari.
Pohon kamboja memiliki ketinggian kurang lebih 8 meter. Daunnya tebal dan memiliki rambut halus pada permukaannya.

2.3 Shigella dysentriae
Habitat Shigella dysentriae adalah pada traktus intestinal manusia atau primata lainnya. Bakteri ini menyebabkan disentri.3

2.3.1 Morfologi
Shigella dysentriae berbentuk kokkus dan tergolong bakteri gram negatif . Koloni Shigella berbentuk konveks, sirkular, dan transparan.4

2.3.2 Karakteristik Biakan
Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kemampuan fermentasi laktosa berbeda pada setiap jenis Shigella, dan ini menjadi dasar klasifikasinya. Shigella membentuk asam dari karbohidrat, namun jarang membentuk gas. Shigella bias dibedakan menjadi Shigella yang memermentasikan manitol dan yang tidak.4

Table 16–3. spesies patogenik dari Shigella
Jenis
Grup dan Tipe
Mannitol
Ornithine Decarboxylase
S dysenteriae
A
-
-
S flexneri
B
+
-
S boydii
C
+
-
S sonnei
D
+
+

2.3.3 Faktor-faktor Patogen dari Shigella dysentriae
Menurut Medical Microbiology Jawetz’s, Shigella dysentriae memiliki beberapa factor pathogen, antara lain:
1. Toxic Liposaccharydes
Liposakarida yang dimiliki Shigella dapat menyebabkan iritasi pada dinding usus.
2. Exotoxin
Eksotoksin ini dapat berefek sebagai neurotoksin yang dapat menyebabkan meningismus, bahkan koma.4


2.3.4 Infeksi yang Disebabkan oleh Shigella dysentriae
a. Patogenesis
Shigella masuk melalui mulut. Karena Shigella tahan dengan keadaan pH yang rendah, bakteri jenis ini dapat melewati barier asam lambung dan kemudian menginvasi mukosa di kolon, khususnya menyerang sel epitel absortif. Bakteri ini bisa mereplikasi dirinya di dalam sel di kolon sehingga bisa menginvasi lebih lanjut.3

b. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari infeksi Shigella dysentriae adalah adanya diare yang disertai darah, mukus, dan pus. Biasanya pasien juga mengalami demam tinggi yang dapat mencapai 40oC. Jika tidak segera ditangani, pasien dapat mengalami ulkus di kolon.3

2.4. Uraian Prosedur Penelitian
2.4.1 Metode Difusi Agar
Kerentanan bakteri terhadap suatu antibakteri dapat diukur secara in vitro dengan menggunakan prinsip difusi agar. Beberapa proses berlangsung ketika infusa yang mengandung antimikroba dimasukkan ke dalam sumur pada agar medium yang telah diinokulasi. Pertama, terjadi penyerapan air dari medium agar dan kemudian melarut. Kemudian antimikroba itu berdifusi pada medium agar sesuai dengan hukum fisika yang berlaku atas proses difusi suatu molekul. Hasil yang didapat berupa diameter zona hambat pada agar sekeliling sumur.

2.4.2 Penentuan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)
Pada metode pengenceran tabung digunakan beberapa tabung yang berisi antimikroba dengan berbagai konsentrasi. Pada tabung-tabung tersebut kemudian ditanam bakteri yang akan diuji yang disesuaikan dengan standar Mc Farland 0.5, yaitu sekitar 108 kuman per milliliter. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 derajat celcius, kemudian dari setiap tabung tadi diamati tabung dengan konsentrasi antimikroba terkecil yang tidak menunjukkan pertumbuhan mikroba. Pada metode ini dapat ditentukan KHM dari suatu antimikroba terhadap uji bakteri.

2.4.3 Penentuan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)
KBM ditentukan dengan cara mengambil suspensi dengan menggunakan ose dari tabung-tabung yang digunakan untuk menentukan nilai KHM dan menyebarkannya pada lempeng agar Mueller-Hinton secara sektoral. Lempeng tersebut lalu diinkubasi di lemari pengeram selama 24 jam pada suhu 35-37 derajat celcius. Konsentrasi terendah yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri adalah nilai KBM.
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian
3.1.1 Bakteri Uji
Sediaan bakteri adalah bakteri Shigella dysentriae dari Laboratorium Mikrobiologi FK Unpad yang berasal dari Biofarma. Sebelumnya bakteri ini ditumbuhkan dulu pada agar nutrient miring.

3.1.2 Bahan Uji
Bahan penelitian yang digunakan adalah simplisia bunga kamboja (Plumeria acuminate Ait.) dengan bentuk sediaan infusa. Infusa dibuat sesuai dengan yang tertera dalam Farmakope Indonesia.

3.1.3 Alat Penelitian
Alat-alat yang diperlukan adalah:
1. Panci infusa, terdiri dari 2 tingkat
2. Kompor
3. Botol infusa
4. Gelas ukur
5. Saringan halus
6. Cawan petri
7. Tabung reaksi
8. Ose
9. Incubator
10. Api Bunsen
11. Neraca
12. Agar Mac Conkey

3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah modifikasi metode difusi agar Kirby Bauer dengan menggunakan agar Mac Conkey dan metode dilusi tabung. Hasil penelitian didapatkan dengan mengukur diameter daerah hambat yang terbentuk pada medium agar serta dengan menentukan Konsentrasi Hambat Minimal dan Konsentrasi Bunuh Minimal dari infusa bunga kamboja terhadap bakteri uji.




3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Prosedur Pembuatan Infusa Bunga Kamboja
1. Bunga kamboja dicuci bersih lalu ditimbang sebanyak 300 gram (untuk percobaan difusi agar) dan 400 gram (untuk percobaan dilusi tabung) kemudia dirajang halus
2. Hasil rajangan dimasukkan ke dalam panic infusa kemudian dimasukkan air matang sampai didapat volume 100 ml untuk membuat infusa dengan konsentrasi 300% dan 400%.
3. dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit terhitung sejak suhu mencapai 90 derajat celcius sambil diaduk tiap 5 menit sekali.
4. campuran tersebut kemudian disaring dengan saringan halus sampai airnya tidak menetes lagi.

3.3.2 Prosedur Pembuatan Suspensi Bakteri
1. Bakteri Shigella dysentriae ditumbuhkan dalam media agar nutrien miring lalu diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37 oC.
2. Koloni bakteri dari agar miring yang telah diinkubasi kemudian dimasukkan ke dalam larutan NaCl untuk dibuat suspensi sampai didapatkan kekeruhan yang disesuaikan dengan standar kekeruhan McFarland 0.5 sehingga didapatkan bakteri 108 CFU/ml
3.3.3 Prosedur Untuk Melihat Daya Antibakteri
1. Disiapkan cawan petri yang telah disterilkan dalam autoclave
2. Masukkan 1 ml suspense bakteri uji Shigella dysentriae
3. tuangkan 30 cc Mac Conkey cair yang telah disterilkan dalam autoclave yang suhunya kira-kira 60oC kemudian dikocok hingga homogeny dan didiamkan hingga agar mengeras.
4. Dibuat 6 buah lubang sumur pada sediaan agar yang mempunyai tinggi 4 mm tersebut di atas dengan diameter yang sama sebesar 1 cm.
5. dituangkan infusa Plumeria acuminata dengan volume 0.3 ml ke dalam setiap lubang dengan konsentrasi berbeda, yaitu sebesar 300%, 200%, 150%, 100%, 50%, dan 25%.
6. sediaan ini diinkubasikan dalam lemari pengeram selama 24 jam pada suhu 37oC.
7. setelah 24 jam diukur diameter zona hambat yang terjadi pada setiap sumur.
8. prosedur di atas diilakukan sebanyak 3 kali pengulangan.



3.3.4 Prosedur Untuk Melihat KHM
1. disiapkan 10 buah tabung steril yang telah diisi 1 ml Mac Conkey cair
2. pada tabung pertama diberikan 1 ml infusa bunga kamboja dengan konsentrasi 400% dengan menggunakan pipet steril, dikocok kemudian dari tabung pertama ambil 1ml kemudian diinokulasikan pada tabung kedua dan seterusnya demikian hingga tabung ke-sembilan. Kemudian diambil 1 ml larutan dari tabung ke-sembilan dan dibuang.
3. Konsentrasi infusa yang diperoleh adalah semakin kecil pada tabung berikutnya, yaitu dimuali dari 200%, 100%, 50%, 25%, 12.5%, 6.25%, 3.12%, dan 1.56%.
4. diinokulasikan 1 ml suspensi bakteri yang sesuai dengan standar McFarland 0.5 ke dalam tabung pertama sampai dengan tabung ke-delapan. Tabung ke-sembilan sebagai control negative berisi infusa saja dan sebagai control positif adalah tabung ke-sepuluh yang berisi bakteri saja.
5. konsentrasi akhir yang diperoleh adalah 100% pada tabung pertama, 50% pada tabung kedua, dan seterusnya, hingga tabung ke-delapan dengan konsentrasi 0.78%.
6. diinkubasikan dalam lemari pengeraman selama 24 jam pada suhu 37oC
7. setelah 24 jam diamati kekeruhan yang terjadi, nilai KHM didapatkan pada tabung terakhir yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri. Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali.

3.3.5 Prosedur Untuk Melihat KBM
1. Ambil satu ose suspensi dari tabung yang digunakan untuk KHM
2. Sampel dioleskan pada lempeng agar Mac Conkey kemudian diinkubasikan di lemari pengeram selama 24 jam pada suhu 35-37oC.
3. Konsentrasi terendah yang tidak memperlihatkan pertumbuhan bakteri merupakan nilai KBM.
4.Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali.







DAFTAR PUSTAKA
Santoso, S. 1993. Perkembangan Obat Tradisional Dalam Ilmu Kedokteran di Indonesia dan Upaya Pengembangannya Sebagai Obat Alternatif, Jakarta: FKUI.
Hariana, H.Arief.. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Fauci, A.S., Eugene, & Isselbacher. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Brooks, G.F., Butel, J.S., & Morse, S.A.. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology 24th edition. New York: The McGraw-Hill Companies,Inc.
DepKes RI 1992. Undang-undang Kesehatan 1992. UU RI No.23 Tahun 1992. Jakarta: Penerbit Sinar Gartika